Hari
kedua di Batam, gue bareng teman gue
melanjutkan jalan-jalan ke pulau Penyengat. Pulau Penyengat berada di perairan Pulau Bintan. Pulau Bintan sendiri
berada di sisi timur pulau Batam. Di pulau Bintan terletak ibukota provinsi
Kepulauan Riau. kota Tanjung Pinang.
Dari
Batam ke Bintan kita harus menyebrang menggunakan kapal ferry kecil dari
pelabuhan teluk Punggur. Lama perjalanannya 1 jam dengan harga tiket Rp.40.000.
Jangan kaget bila sampai di pelabuhan Punggur mendengar orang berteriak-teriak
menjajakan tiket ferry. Hal itu wajar karena banyak perusahaan ferry yang
melayani rute Batam-Bintan setiap setengah jam sekali.
Pelabuhan Sri Bintan Pura
Sampai
di pelabuhan Sri Bintanpura, Tanjung Pinang, kita harus menyambung naik pompong atau sebutan untuk perahu motor
dari kayu berukuran kecil. Pompong merupakan angkutan rakyat, maksudnya
transportasi yang dimiliki oleh orang perorangan dan bukan dikelola oleh pemerintah.
Karena itu, pompong tidak bersandar di
pelabuhan Sri Bintan Pura tapi di sebelah pelabuhan itu. Cara untuk mencapai
pelabuhan pompong, kita harus keluar dari pelabuhan utama. Berjalan ke aarah
kiri kira-kira 50 meter sampai bertemu persimpangan pertama, yang lebih mirip
gang, masuk ke dalam. Tak beberapa meter kita akan menemukan papan yang
menunjukan dermaga menuju pulau penyengat.
Susuri
jalan kecil itu. Lalu, kita akan menjumpai dermaga pompong. Dari dermaga itu
kita melihat betapa dekatnya pelabuhan
Sri Bintan Pura. Ah, seandainya pemerintah daerah membuat jembatan yang
menghubungkan kedua dermaga itu, wisatawan seperti kami tak perlu kebingungan
mencari jalan.
Anehnya
ada jalan tikus yang menghubungkan kedua dermaga itu. Biasa digunakan penduduk
sekitar sebagai jalan pintas. Yakni dengan memanjat dinding rumah penduduk yang
memisahkan kedua dermaga itu. Dari mana gue tau? Karena gue salah satu
wisatawan “cerdas” yang ikut memanjat dinding itu ketika kami dikejar waktu
hendak balik ke Batam. Ceritanya kami berjalan bergegas setengah berlari
mengejar ferry yang akan berangkat ke Batam. Bila terlambat, kami harus
menunggu setengah jam lagi untuk naik ferry berikutnya.
Seorang
bapak yang berjualan di dermaga melihat
kami. “Ee..lajunye jalan macam boat”, katanya dengan dialek Melayu.
“Iya
pak, kami sedang mengejar ferry ke Batam!” tanggap gue sambil sambil terus
berjalan.
“Bilanglah
dari tadi, “ Bapak itu ikut berjalan bergegas. “saye tunjukan awak jalan pintas
ke pelabuhan.”
Gue
dan teman gue mengikuti bapak itu sampai ke ujung jalan keluar. “Di belakang
dinding ni pelabuhan. Awak bise panjat
dinding ni.”
Gue
melongo dan bertukar pandangan dengan teman gue.
“Tunggu
ape lagi. Awak nak cepat, ini jalannye.”
Tembok
itu tidak terlalu tinggi. Cuma 2 meter dan ada batu pijakannya. Pertanda,
tembok itu sering digunakan sebagai jalan pintas. Gue melirik teman gue. Dia
mengangguk. Dan akhirnya gue panjat dinding itu dan ajaib! Kit sampai di depan
pelabuhan Sri Bintan Pura.
orang turun dari pompong
Balik
lagi ke cerita awal. Seperti yang gue bilang tadi pompong adalah perahu kecil
yang merakyat. Satu pompong bisa memuat 15 orang dan kita hanya perlu membayar Rp.5000 per orang.
Tapi seperti angkot, pompong akan ngetem dulu sampai menunggu muatannya penuh
15 orang. Kalau ingin cepat kita bisa menyewa pompong untuk sekali jalan Rp.
75.000 saja.
Pompongnya penuh
Sebenarnya dari penampilannya, pompom tidak
terlalu menyakinkan. Pompong terlihat tua dan tidak
ada sarana keselamatan bila terjadi
keadaan darurat. Walaupun
begitu gue cukup senang pada awalnya, bisa naik pompon menyusuri perairan
antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Perairannya tenang dan hanya butuh
10 menit atau 1,6 km dari
dermaga Sri Bintanpura.
Mesjid Sultan Riau menyambut kedatangan kami di Pulau Penyengat
Tapi
pandangan gue berubah ketika balik dari pulau Penyengat menuju Bintan.
Pompongnya bocor di tengah laut! Air mengenang di dasar pompong. Mendadak
suasana berubah panik. Gue yang gak bisa berenang apalagi. Untung aja ada yang
penumpang yang sigap menimba air yang terus menggenang yang hampir menggenangkan pompong.
Ibu ini ikut panik. dah rapi-rapi mau pergi kondangan. gak lucu kan kalau harus basah-basah
Turun
dari Pompong, gue gak bisa menyembunyikan kekesalan. Gue marah-marah sama
pemilik pompong. Apa dia gak periksa pompongnya bocor. Orang-orang yang sudah
antri pengen naik ke pompong itu gue larang. Gue bilang pompongnya bocor. Tapi teman gue bilang, gak usah mengurusi itu
karena kami harus cepat balik ke Batam.
Dari
pengalaman itu gue berpikir kenapa tidak ada perhatian pemerintah daerah
terhadap keselamatan dan kondisi pompong. Pengguna pompon bukan saja penduduk
lokal tetapi juga wisatawan. Kalau pengalaman seperti gue terjadi pada
wisatawan lain, maka mereka akan membawa cerita buruk itu ke negeri mereka.
Akibatnya akan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisata ke pulau Penyengat.
Apalagi gue dengar pemerintah sedang mengajukan pulau Penyengat sebagai situs
warisan dunia. Bagaimana mungkin nantinya situs warisan dunia yang biasanya
banyak dikunjungi wisatawan ternyata tidak memperhatikan prosedur keselamatan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar