Bukik Kubangan Kabau begitu
orang-orang mengenalnya dulu. Sebuah nama
yang tidak komersial mengingat pentingnya peran kota ini dalam
episode sejarah dan peran strategisnya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat. Memang pada sejarah awalnya, daerah perbukitan yang
merupakan bagian dari nagari
(penyebutan untuk desa di Sumatera Barat-pen) Kurai Limo Jorong ini, hanya dijadikan tempat mengembalakan kerbau. Selanjutnya daerah ini berkembang dengan berdirinya pasar. Para pemuka adat kemudian mengganti nama daerah tersebut menjadi Bukik
Nan Tatinggi. Faktor topografi menjadi dasar pertimbangan karena daerah
ini berada
di bukit tertinggi diantara
26 bukit di sekelilingnya. Lama kelamaan orang-orang lebih mengenalnya dengan Bukittinggi.
Nama Bukittinggi berganti ketika Belanda mengambil alih daerah tersebut setelah Perang Paderi berakhir. Sebelumnya,
tahun 1826 Belanda mendirikan benteng pertahanan di utara pasar Bukittinggi untuk menghadapi gempuran pasukan Paderi. Benteng itu diberi nama Fort De Kock
yang diambil dari nama Baron Hendrik Markus De Kock yang
pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Hindia Belanda.
Dari nama benteng itu, Bukittinggi dikenal oleh pemerintah kolonial sebagai Fort De Kock.
Nama tersebut melekat sampai Belanda hengkang dan pemerintahan berganti ke tangan Jepang pada tahun
1942.
Di zaman penjajahan Jepang, Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan militer Jepang
yang meliputi Sumatera, Singapura dan Thailand. Negara matahari terbit tersebut membangun barak militer
rahasia di bawah kota Bukittinggi. Lebih tepatnya disebut terowongan dengan
panjang 6 km dan kedalaman 49 meter di bawah tanah. Masyarakat sekitar
menyebutnya dengan Lobang Jepang. Namun, keberadaan terowongan rahasia itu baru
diketahui sekitar tahun 1950-an. Hal ini karena Jepang begitu menjaga
kerahasiaan barak militer itu dengan mendatangkan para pekerja pembuatnya dari
Jawa dan Kalimantan.
Episode
sejarah berlanjut setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika
ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, jatuh ke tangan Belanda dalam agresi
Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta sebelum ditawan sempat mengirim kawat/telegram pada Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Penerangan, yang sedang berada di Bukittinggi.
Kawat tersebut
berisi mandat untuk membentuk pemerintahan darurat. Mulai saat itu, Bukittinggi
memainkan perannya sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI),
walaupun pemerintahannya
dijalankan dengan gerilya keluar masuk hutan. Dari corong radio, Syafruddin
Prawiranegara berpidato pada seluruh rakyat Indonesia untuk menggelorakan
perjuangan dan menyuarakan pada dunia bahwa negara Indonesia masih ada, meskipun dalam bentuk pemerintahan darurat di kota kecil yang
dulu menjadi basis pertahanan Belanda dan Jepang, Bukittinggi.
Kota
wisata
Sekarang kota
ini menggeliat sebagai pusat ekonomi dan pariwisata di Sumatera Barat. Bermodal
alamnya yang indah dengan pemandangan gunung Merapi dan Singgalang serta
udaranya yang sejuk, Bukittinggi menjelma menjadi magnet pariwisata. Maka tak
mengherankan bila di akhir pekan dan hari libur, wisatawan lokal dan mancanegara memadati kota yang pernah dijuluki sebagai Parijs
Van Sumatera, Paris dari
Sumatera
ini.
Mengunjungi
Bukittinggi merupakan paket wisata yang lengkap. Semua destinasi pariwisata ada
di sana. Kota yang berjarak 90 km dari kota Padang, ibukota Sumatera Barat ini,
tidak hanya menyuguhkan pemandangan alam, terdapat wisata sejarah, kuliner dan belanja. Dan, beruntungnya
lagi semua objek wisata tersebut bisa ditempuh
dengan berjalan kaki.
Diawali dari Jam Gadang, landmark kota Bukittinggi yang merupakan menara jam warisan Belanda
yang
diirikan tahun 1926. Lokasi
favorit berfoto bagi pengunjung ini memiliki kekhasan. Angka pada Jam Gadang menggunakan angka romawi,
kecuali angka empat. Seharusnya angka empat ditulis dengan “IV” tapi pada Jam Gadang ditulis “IIII”. Tak ada yang
tahu pasti apakah ada kesalahan ketika pembuatannya, tetapi “kesalahan” itu dipertahankan sampai sekarang
sebagai salah satu keunikan.
Keunikan lain
adalah pada atap Jam Gadang. Sekarang
atap Jam Gadang berbentuk bagonjong
seperti atap rumah adat Minangkabau. Sebelumnya, atap Jam Gadang telah bertukar dua kali mengikuti pemerintahan kolonial
yang memerintah Bukittinggi. Ketika penjajahan Jepang, atap Jam Gadang berbentuk klenteng sesuai
bentuk atap rumah tradisional Jepang. Namun, pada awal pendiriannya, Belanda
membuat atap seperti kubah mesjid dengan patung ayam jantan di puncaknya.
Konon, patung ayam jantan itu untuk menyindir kebiasaan masyarakat sekitar yang sering bangun kesiangan dan
terlambat memulai aktivitas di pasar.
Tepat di
belakang Jam Gadang, berdiri Istana
Wakil Presiden Bung Hatta. Dulu bangunan ini dijadikan kantor dan kediaman oleh
Bung Hatta ketika sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Sumatera Barat.
Sekarang Istana tersebut difungsikan untuk acara pemerintahan.
Tahun 2005, istana ini digunakan sebagai tempat pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri
Malaysia, Abdullah Badawi.
Berjalan menyusuri
jalan di belakang istana, terdapat objek wisata Ngarai Sianok. Di sini
pengunjung akan disuguhi panorama Gunung Singgalang dan ngarai yang hijau. Suasana
sejuk dan teduh langsung terasa. Terlebih pengunjung dapat
berinteraksi dengan puluhan monyet yang menghuni di ngarai tersebut, tetapi danjurkan
tetap berhati-hati. Kadang-kadang beberapa monyet cukup agresif.
Selain itu,
pada destinasi ini pengunjung dapat masuk ke Lobang Jepang. Di dalamnya
pengunjung dapat melihat ruang amunisi, ruang pertemuan dan penjara. Pengunjung
dapat keluar dari Lobang Jepang di dasar Ngarai Sianok. Dari sana, pengunjung dapat menikmati pemandangan tebing-tebing pasir dan sungai dangkal berair jernih. Tak jauh dari
sana, terdapat Janjang Koto Gadang yang didesain mirip
miniatur Tembok Besar China. Janjang
atau tangga itu dibangun
menghubungkan dasar ngarai dengan desa Koto Gadang,
sebuah desa yang dulunya disebut intelectual
village. Julukan ini tepat disematkan karena desa tersebut banyak
melahirkan tokoh nasional seperti Haji Agus Salim, Rohana Kudus (jurnalis dan
tokoh emansipasi wanita) serta Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Imam Besar
Masjidil Haram). Sekarang, desa itu dikenal sebagai sentra kerajinan perak. Pengunjung dapat
membeli sejumlah kerajinan perak seperti cincin atau miniatur Jam Gadang.
Kembali ke area
Jam Gadang, menyusuri jalan di pertokoan Pasar Atas, terdapat objek wisata
Kebun Binatang. Destinasi wisata keluarga ini tidak saja memberikan edukasi
mengenai jenis-jenis binatang yang menjadi koleksinya, tetapi juga memberikan
edukasi sejarah dan budaya. Di dalam kompleks Kebun Binatang berdiri rumah adat
Minangkabau yang difungsikan sebagai museum. Disamping itu, terdapat jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun
Binatang dengan destinasi Benteng Fort De Kock.
Walaupun tidak terdapat lagi sisa-sisa benteng, tetapi pengunjung masih bisa melihat beberapa
meriam yang menandakan tempat itu dulu pernah dijadikan sebagai kubu pertahanan.
Wisata Belanja dan Kuliner
Puas
berkeliling ke sejumlah destinasi wisata, pengunjung dapat menikmati sejumlah
kuliner di Bukittinggi. Terkenal dengan dengan kuliner pedasnya, gulai itiak
lado mudo (bebek cabe hijau) dapat dijadikan rekomendasi pilihan.
Lokasi tempat makannya tak jauh dari Janjang Koto Gadang di dasar Ngarai Sianok.
Selain itu, bila
sedang berjalan-jalan di sekitar Jam Gadang, pengunjung dapat berjalan ke arah
Pasar Lereng. Di sana, terdapat traditional
food court
atau yang lebih dikenal dengan Los Lambuang. Pengunjung
dapat mencoba nasi kapau, nasi Padang
yang khas dengan aneka lauk, juga ada cendol dan ketupat pecal.
Beranjak ke wisata belanja, ada Pasar
Atas yang lokasinya tepat di depan Jam Gadang. Berbagai barang dijual di sana. Bila ingin membeli bordir (sulaman)
dan tenunan khas Sumatera Barat, silahkan datang ke lantai dua Pasar Atas. Di
sana dijual bordiran dalam bentuk kain atau pakaian jadi seperti baju kurung,
mukena dan taplak meja. Bagi pengunjung yang menyukai songket, di Pasar Atas dijual songket Pandai Sikek
dan Silungkang. Kedua jenis songket ini dikerjakan dengan tangan sehingga
kualitasnya terjamin.
Untuk oleh-oleh tak usah khawatir, banyak cenderamata dijual yang
cocok dijadikan buah tangan. Dari baju kaus bergambar Jam Gadang, lukisan cat
air dengan latar belakang Minangkabau sampai oleh-oleh makanan seperti keripik sanjai
yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi
atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang
berbentuk seperti angka.
Akhirnya,
bercerita tentang Bukittinggi tidak hanya berkisah tentang nostalgia masa lalu tetapi melihat geliat kota yang berkembang menjadi
destinasi wisata. Tinggal ke depan bagaimana pemerintah daerah mampu mengeksploitasi keunikan
daerahnya sehingga menjadi destinasi yang layak dan ramah bagi wisatawan.
Wisata Kota Bukittinggi
BalasHapus