Seandainya aku seorang prince, lord atau duke, alangkah senang hidup ini kurasakan. Hidup
sebagai seorang bangsawan yang dihormati. Apa yang dinginkan terpenuhi dan
mempunyai kekayaan yang tak akan pernah habis tujuh turunan. Semuanya akan
terasa lengkap dengan kastil megah serta puluhan pengawal yang selalu setia
menjaga keamanan tuannya.
Sayangnya, hal itu hanya ada dalam mimpi. Kehidupanku
bertolak belakang dari ilustasi tersebut. Aku hanyalah rakyat jelata, tepatnya seorang
mahasiswa yang tinggal di kamar kost sempit dengan uang saku pas-pasan. Jangankan
gelar prince, lord atau duke, gelar sarjana pun masih enggan bergandengan
dengan namaku.
Belakang ini, aku sering larut dalam perasaanku
sendiri. Aku senang berangan-angan dan menyendiri di kamar kost. Kubangun
“kerajaan” sendiri di dunia semu. Tentunya, aku yang menjadi rajanya. Apa yang
kuinginkan kudapatkan di sini, termasuk masa depan yang cerah. Di benakku
terlihat sebuah kehidupan yang mapan. Aku punya pekerjaan bagus, rumah
yang megah, mobil yang mengkilat dan keluarga kecil yang bahagia
Namun, khayalan itu tidak berlangsung lama. Slide
di otakku berganti. Sekarang terlihat seorang mahasiswa yang terburu-buru mandi
pagi karena hampir terlambat kuliah. Setelah itu, dia harus berebut bus kota
dengan puluhan orang yang juga akan berangkat ke tempat aktifitas mereka
masing-masing. Gerah dan sumpek, itu yang dirasakan mahasiswa tadi.
Slide di otakku masih berputar. Sekarang gambarnya
memperlihatkan mahasiswa yang sama yang sedang melihat isi dompetnya. Hanya ada
dua lembar uang dua puluh ribuan.
“Ah, tinggal segini, padahal tanggal satu
masih lama”, gerutunya.
Adegan berikutnya, si mahasiswa malang itu tengah
bertransaksi dengan temannya. Bukan transaksi jual beli tetapi transaksi
peminjaman uang untuk menutup defisit pengeluarannya. Adegan itu berlangsung
berulang dengan beberapa orang berbeda. Akhir dari setiap adegan selalu sama
yakni satu kata penolakan, “maaf”, seolah dia adalah seorang pengemis. Barulah
ketika “dana segar” didapatkannya, adegan itu berakhir dengan wajah senang si
mahasiswa seperti wajah seorang buruh kasar yang baru saja menerima gaji.
Ah, kepalaku sakit. Bayangan kehidupan nyata
selalu merusak mimpi-mimpi indahku. Penderitaan keseharianku bagaikan meriam
yang meruntuhkan tembok mimpi yang kubangun. Dia melemahkan potensi yang
membuatku tidak bergairah dan stres.
Angan-angan dan potret kesusahan hidup yang
kualami saling tarik menarik. Keduanya datang silih berganti seperti pentas
teater di otakku. Ketika aku stres karena suatu masalah, maka aku akan
mengurung diri di kamar dan menghindari interaksi dengan dunia luar kecuali
pergi kuliah. Aku membayangkan keseharian yang lebih menyenangkan.
Berandai-andai hidup tenang, tanpa masalah dan berkecukupan. Namun, ketenangan
itu terusik akan bayangan masalah yang belum kutemukan solusinya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Aku rasa
orang lain tidak mengalami hal yang kualami, lari dari masalah dan bersembunyi
di dunia semu. Apakah aku sudah gila atau aku sedang mengalami krisis
kepribadian yang parah?
Aku termenung di sudut kamarku. Otakku berpikir
keras.
“Aku tidak gila!”.
Ruangan ini membisu. Dia tidak memberiku jawaban. Tiba-tiba
terdengar suara. “Kau tidak gila, tapi kau mengalami sedikit gangguan
kejiwaan”.
Aku meneriakan lagi kata tidak. Suara itu kembali
terdengar. “Coba kau pikirkan ketika orang lain mendapatkan masalah mereka
berusaha tegar menghadapinya. Mereka
tidak mengurung diri sepanjang hari di kamar dan mereka tidak lari ke dunia
semu. Mereka berusaha menantang dunia nyata”.
Aku belum bisa menerima kata hatiku itu. Lama aku
menekur, sampai hati kecilku kembali berbicara. “Kalau kau hanya menanam andai,
maka kau hanya akan menuai mimpi. Tetapi bila kau menanam tekad, memupuk usaha
maka kau akan menuai hasil dari cita-cita”.
Ya, mungkin ada benarnya. Selama ini aku lemah
pada diriku sendiri. Aku tidak dapat menaklukan masalah karena aku tidak
mencari solusinya. Aku hanya berharap masalah itu akan hilang dengan
sendirinya. Untuk beberapa persoalan cara itu memang terbukti. Namun, untuk
beberapa masalah lain hanya mengendapkan masalah sementara waktu, kemudian
masalah itu berevolusi dalam bentuk baru
yang lebih rumit.
Aku harus berubah. Aku sudah dewasa dan harus
mampu menghadapi masa depan yang penuh rintangan. Tidak akan ada keajaiban
seperti dalam cerita dongeng, di mana akan datang peri baik hati yang membantu
dengan kekuatan sihirnya. Keajaiban itu adalah diriku sendiri. Kekuatan akal
dan hati yang diberikan Tuhan akan menjadi senjata untuk mengubah kehidupanku
menjadi lebih baik.
Ruangan ini kembali senyapun sesaat. Dan beberapa
waktu kemudian sebuah suara bergema. “Buka gorden jendelamu bujang! Lihatlah
matahari telah tinggi. Langkahkan kakimu keluar dan tantanglah dunia! Karena
setiap tapak yang kau langkahkan adalah masa depanmu!”
NB: Tulisan ini pernah dimuat di harian sindo tahun 2007 ato 2008. lupa saking lamanya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar