Kalau
di Yogyakarta ada pasar Beringharjo sebagai tempat membeli batik murah, di Solo
ada pasar Klewer. Gue sempat mampir ke Pasar Klewer (sebelum pasar Klewer
terbakar) buat membeli beberapa batik. Harganya memang lebih murah tapi kita
harus pintar-pintar nawar juga. Dan yang terpenting harus sesuai budget juga.
Banyak barang-barang bagus, selain pakaian berbahan dasar batik, di sana juga
dijual taplak meja, bed cover,
dompet, sandal dan lain-lain. Bila tak ingin kantong bolong, jangan
berlama-lama disana.Hehe..
Syukurnya,
waktu gue terbatas di pasar Klewer. Gue curi-curi waktu untuk bisa memuaskan
hasrat berbelanja di pasar yang sudah berkembang sejak zaman Jepang itu.
Sehabis ini gue punya acara lain meng-eksplore
keraton yang ada di Solo. Solo punya dua keraton yakni Keraton Kasunanan dan
Pura Mangkunegaraan. Satunya ditempati Paku Buwono dengan status raja dan
satunya ditempati Mangkunegara dengan
status pangeran.
Lambang keraton Surakarta
Kedua
keraton ini mempunyai kisah yang panjang yang diawali dari perjanjian Gianti
tahun 1755. Perjanjian merupakan politik devide
et impera Belanda yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua yakni sebelah barat
Kali Opak untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian bernama Yogyakarta dan
sebelah timur Kali Opak untuk Sunan Pakubuwono III yang kemudian bernama Kasunanan
atau Surakarta Hadiningrat. Namun, pada tahun 1757, daerah Surakarta dipecah
lagi menjadi dua melalui perjanjian Salatiga. Pecahan Surakarta itu dikenal
dengan kadipaten Mangkunegaran.
Lambang Keraton Mangkunegaran
Layaknya
istana para raja, keraton merupakan bangunan yang indah pada masanya. Sayangnya
bila kita berkunjung ke keraton Kasunanan sekarang, keadaannya kurang terawat. Cat
dindingnya sudah kusam. Banyak benda-benda keraton seperti kereta keraton
dibiarkan lapuk, Padahal memiliki nilai sejarah yang tinggi. Konon kabarnya,
dulu gagang pintu keraton terbuat dari emas tapi karena keadaan keuangan yang
sulit, emas-emas itu dijual dan tinggallah sisa kejayaan masa lalu seperti yang
terlihat sekarang ini.
Namun,
satu bangunan yang terawat yang kalau dilihat merupakan aula utama tempat raja
bertemu dengan bawahan. Bangunan itu sepertinya baru direnovasi dan pengunjung
dilarang masuk kesana. Dari informasi yang gue ketahui, bangunan utama keraton
ini pernah terbakar tahun 1985. Pengumpulan dana besar-besaran digalang.
Presiden Soeharto ketika itu sampai menyumbangkan setengah tahun gajinya. Pembangunan kembali beberapa
kompleks keraton yang terbakar berlangsung cukup lama dan baru selesai tahun
1997
Patung Pakubuwono X, dikenal dengan Raja Keraton Surakarta terkaya
Dipintu
masuk keraton, dijaga oleh dua orang abdi dalem sebagai pengawal perpakaian tentara Jawa lengkap
dengan pedangnya. Pengunjung diperbolehkan berfoto dengan mereka. Tapi jangan
lupa menyelipkan uang seikhlasnya. Maklum abdi dalem biasanya tidak digaji. Kalaupun
ada, gaji mereka sangat kecil. Jadi mereka juga mengharapkan tambahan
penghasilan dari para pengunjung
Cermin antik di depan pintu masuk keraton Surakarta
Pengawal di pintu masuk keraton
Hal
yang menarik ketika kita memasuki keraton, ditengahnya terdapat taman yang
ditanami pohon dan terdapat patung-patung bergaya Eropa. Taman itu berpasir dan
pasirnya didatangkan dari pantai selatan. Pengunjung dianjurkan untuk tidak
memakai sandal dan sepatu karena dipercayai bahwa pasir tersebut dapat
menyembuhkan penyakit bagi yang yang menginjaknya tanpa alas kaki. Gue sih gak
begitu percaya. Makanya gue gak copot sepatu.
Patung bergaya Eropa di taman keraton
Di
bagian paling depan dari keraton
Kasuhunanan terdapat menara lima tingkat. Posisinya di depan taman berpasir
tadi. Konon katanya di puncak tertinggi menara terdapat ruangan khusus tempat
raja bersemedi dan bertemu dengan penguasa pantai selatan, Nyi Roro Kidul.
Ikatan kuat antara keraton Surakarta dan Yogyakarta terhadap Nyi Roro Kidul
disebabkan karena pendahulu mereka, Panempahan Senopati, raja Mataram yang
pertama, bertemu dengan penguasa pantai selatan tersebut. Panembahan Senopati
tinggal tiga hari tiga malam di dasar laut selatan untuk belajar segala
pengetahuan untuk menjadi seorang raja yang kemudian diwariskan pada
keturunannya. Sampai sekarang sebagian masyarakat Jawa masih percaya bahwa
raja-raja dari Surakarta dan Yogyakarta mempunyai ikatan mistis dengan Nyi
Rorol Kidul sehingga beberapa prosesi keraton masih mempertahankan ritual dan
tarian yang ada kaitannnya dengan penguasa pantai selatan itu.
Menara Keraton Surakarta
Beralih
ke Keraton Mangkunegaran. Keadaan berbeda terlihat pada Keraton Mangkunegaran
yang jauh lebih terawat tapi kompleksnya tidak terlalu luas dibandingkan
kompleks keraton Kasuhunanan. Dalam perjanjian Salatiga tahun 1757, Pangeran Mangkunegara
diperbolehkan mendirikan istana sendiri namun tanpa alun-alun dan pohon
beringin serta tanpa tembok kota.
Keraton Mangkunegaran
Tembok dan gerbang depan Keraton Mangkunegaran
Gaya
bangunannya perpaduan Jawa dan Eropa.Terbukti di relief plafon depan aula depan
terlihat ukiran bergaya Renessaince. Terdapat empat patung singa berwarna emas
di tangga aula. Di dalam aula tergantung lampu bergaya borok. Sejatinya lampu
itu diperuntukan di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Istana
Bogor sekarang) tapi karena lampu-lampu gas baru saja diperkenalkan maka
Mangkunegara IV boleh mengambil alih penggunaannya. Ini karena Mangkunegara IV
dikenal dekat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Aula
depan biasanya digunakan untuk upacara-upacara adat ataupun latihan sendra tari
tradisional. Aula ini di topang oleh beberapa tiang. Ada kepercayaan disana,
siapa saja yang bisa memeluk satu tiang dengan kedua tangannya tanpa terputus
maka keinginannya akan terkabul.
Aula depan istana mangkunegaran
Di
belakang aula depan terdapat aula utama, tempat dimana raja bertahta dan
disimpannya benda-benda pusaka keraton. Ketika memasuki aula utama, kita disambut
empat patung emas orang Tionghoa. Mungkin
ini memperlihatkan ikatan yang erat antara Keraton dengan pedagang-pedagang
Tionghoa tempo dulu.
Aula utama keraton mangkunegaran
Di aula utama pengunjung diperbolehkan masuk
tapi tidak boleh mengambil foto. Alasannya demi keamanan, karena ada benda-benda pusaka keraton yang tidak boleh
didokumentasikan seperti motif-motif pada kain batik yang hanya khusus dipakai
oleh raja dan keluarganya. Lalu ada
serambi belakang. Disana pengunjung dapat melihat meja makan, kursi tamu antik
dan taman belakang keraton yang cukup terawat.
Bagian belakang keraton mangkunegaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar