Kabut
asap datang lagi. Baru bulan juni tahun lalu kabut kiriman dari pembakaran
lahan menyelimuti hampir seluruh pulau Sumatera, bahkan menjalar ke Singapura
dan Malaysia. Sampai-sampai presiden harus
meminta maaf pada pemerintah kedua negara itu karena “ekspor” asap
bertahan lebih dari satu bulan.
Baru
tujuh bulan dari kiriman kabut asap, pertengahan Februari ini “tsunami” asap
kembali menutup langit pulau Sumatera. Gue heran kabut asap ini kok seperti
lebaran. Datangnya dua kali setahun. Anehnya lagi pemberitaan di TV selalu
menyebut “tsunami” asap yang telah
menjadi agenda tahunan itu dengan sebutan “bencana”. Bencana dari mana? Kalau
banjir, gunung meletus atau gempa bolehlah disebut bencana karena datang secara
alami diluar kehendak manusia. Nah, ini? Hutan itu dibakar! Dibakar oleh tangan
manusia yang tidak bertanggung jawab. “Tsunami” asap itu bukan bencana tapi
keteledoran atau pembiaran dari pemerintah.
Udahlah,
gue gak akan membahas tentang kabut asap tapi bercerita tentang pengalaman gue liburan
ke Batam Juni tahun lalu. Kebetulan Batam sedang dilanda kabut asap waktu itu.
Sebelum berangkat dari Padang sempat ketar-ketir juga. Takut-takut pesawat
tidak bisa mendarat atau delay
beberapa jam karena tebalnya kabut asap. Beberapa hari sebelum berangkat gue
liat di TV tentang penundaan take
off dan landing ulah kabut asap.
Alhamdulillah
semuanya lancar. Gue berangkat dari Bandara International Minangkabau, Padang
pukul 12.05 dan sampai di bandara Hang
Nadim, batam pukul 13.10. Gue naik Citilink. Waktu itu harga tiketnya Rp.
362.000. Sekarang sejak kenaikan tiket
pesawat per 1 maret 2014, harga tiket Padang-Batam naik Rp. 48.000 dari harga
dasar.
Sampai
di Hang Nadim ketemu ama teman trus kita
langsung ke Harris Resort Hotel di kawasan Marina. Perjalanan lumayan jauh.
Kira-kira satu jam karena hotel tempat kami menginap terletak di bagian barat
pulau Batam sedangkan bandara berada di
sisi timur. Belum lagi harus memperhitungkan kemacetan di jalan. Tenang,
macetnya Batam tak separah Jakarta. Biasanya macet terjadi di persimpangan jalan atau ketika lampu merah.
Sebenarnya
hotelnya keren. Berada di di tepi pantai dan dekat dengan akses penyebrangan ke
Singapura. Ada private beachnya dan kalau sore bisa liat sunset. Tapi itu
tadi.. asap menutupi keindahannya.
Berada
di hotel itu serasa berada di drama-drama Taiwan karena lebih banyak
orang-orang Tionghoa yang menginap. Ada juga orang-orang India. Mungkin mereka
orang singapura atau Malaysia yang
tengah berlibur di sini.
Nie diambil dari kamar hotel di hari ketiga gue di Batam.
Kabut asapnya dah mulai hilang
Btw dari Batam ada lima pelabuhan feri internasional yang
menghubungkan Batam dan Singapura yaitu Batam Center, Batu Ampar, Nongsa, Waterfront City dan Sekupang. Dermaga feri yang dekat dengan
hotel tempat gue menginap adalah Waterfront City. Sayangnya, perjalanan kali ini gue gak menjadwalkan
pelesiran ke Singapura
Setelah
beristirahat sebentar, kita dijemput mobil rental untuk jalan-jalan sore keliling Batam. Berbekal
hasil pencarian di internet, gue menelpon beberapa jasa penyewaan mobil dan
membandingkan harga yang mereka tawarkan. Akhirnya setelah nego, dapat harga
yang sesuai. Rp. 400.000 termasuk sopir dan BBM dari jam 4 sore sampai jam
12.00 malam.
Tujuan
pertama ke KTM Resort. Bukan untuk pindah hotel tapi melihat patung Dewi kwan
Im tertinggi di Indonesia. Tingginya 22.37 meter. Dibangun oleh pengusaha
Singapura pemilik dari KTM resort.
Awalnya
patung akan ditempatkan di atas Bukit
menghadap laut. Namun, ada pertentangan
dari pemuka masyarakat Batam yang takut nantinya patung tersebut akan jadi landmark Batam seperti patung Kristus di
Brasil atau di Timor Leste, sedangkan sebagian besar penduduk Batam beragama
Islam, maka patung tersebut ditempatkan di bawah bukit dengan tetap menghadap
ke laut.
Disamping
patung raksasa dewi yang terkenal welas asih dalam keyakinan Budha tersebut
dibangun kuil/klenteng tempat berdoa.
Waktu gue kesana ada beberapa orang etnis Tionghoa sedang berdoa sambil
membakar dupa.
Di
pagar klenteng terlihat patung-patung kecil yang menjadi lambang shio berdasarkan tahun kelahiran. Sayangnya, kabut asap menutup indahnya pantai di depan
klenteng sehingga tidak banyak yang bisa difoto disini
Kami
melanjutkan perjalanan ke Jembatan
Barelang. Awalnya pengen mengunjungi bekas camp pengungsi Vietnam di pulau Galang.
Jalannya melewati jembatan Barelang juga. Tapi karena perjalanan kesana lumayan
jauh dan hari telah sore jadi kami memutuskan cukup ke jembatan Barelang saja.
Jembatan ini adalah landmark Batam. Dibangun atas prakarsa mantan presiden Habibie ketika masih menjabat kepala otorita Batam. Barelang sendiri merupakan kependekan dari Batam Rempang dan Galang, yakni tiga pulau yang menghubungkannya. Jembatan itu terdiri atas enam jembatan yang dinamai dengan nama tokoh melayu Riau. Keenam jembatan itu adalah
Jembatan ini adalah landmark Batam. Dibangun atas prakarsa mantan presiden Habibie ketika masih menjabat kepala otorita Batam. Barelang sendiri merupakan kependekan dari Batam Rempang dan Galang, yakni tiga pulau yang menghubungkannya. Jembatan itu terdiri atas enam jembatan yang dinamai dengan nama tokoh melayu Riau. Keenam jembatan itu adalah
- Jembatan I Tengku Fisabillah, yang merupakan jembatan terbesar dan terpanjang yakni 642 meter yang menghubungkan pulau Batam dan Pulau Tonton
- Jembatan II Nara Singa menghubungkan Pulau Tonton dan Pulau Nipah
- Jembatan III Raja Ali Haji menghubungkan Pulau Nipah dan Pulau Setokok
- Jembatan IV Sultan Zainal Abidin menghubungkan Pulau Setokok dan Pulau Rempang
- Jembatan V Tuanku Tambusai menghubungkan Pulau Rempang dan Pulau Galang
- Jembatan VI Raja Kecil menghubungkan Pulau galang dan Pulau Galang Baru
Jembatan
ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi tetapi juga wisata dan tempat kongkow-kongkow orang-orang
Batam dikala senja tiba. Terutama di
jembatan 1. Mirip seperti jembatan Siti
Nurbaya di Padang.
Banyak
orang mengambil foto di pinggir jembatan
yang disediakan untuk pejalan kaki ataupun di tengah jembatan. Iya, di tengah
jembatan! Gak perlu panik. Jembatan ini terdiri atas dua jalur. Ditengahnya
dipisahkan oleh trotoar sempit yang sering
digunakan sebagai tempat mengambil foto dengan latar belakang kontruksi
jembatan.
Ok,
cukup sekian perjalan hari ini. Lanjut ke cerita perjalanan gue esok harinya ke
pulau cinta di Batam. Emang ada? Ada lah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar