Salah
satu perdebatan hangat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah kriminalisasi terhadap kumpul kebo (living
together without married). Perbuatan
ini dirumuskan dalam Pasal 485 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa setiap
orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang
sah, dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak 30
juta.
Rumusan
pasal ini mengundang pro kontra. Dari kalangan agamis menyatakan dukungannya karena
kumpul kebo merupakan perbuatan zina yang dilarang agama. Indonesia yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah selayaknya mengakomodir larangan
terhadap perbuatan zina dan kumpul kebo. Aturan yang ada sebelumnya (pasal 284
KUHP) dirasa tidak cukup. Pasal tersebut
hanya menjerat pelaku perzinaan yang salah satunya terikat hubungan pernikahan.
Bagi mereka yang masih lajang dan melakukan perbuatan itu atas dasar suka sama
suka atau tinggal seatap layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan, tidak
dapat dipidana. Maka tak heran bila pada tahun 2009, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) merilis data yang mengejutkan mengenai prilaku seks bebas di kalangan
remaja telah mencapai angka 35,9 persen (Republika, 24 Maret)
Sebaliknya,
kalangan yang menentang menyatakan rumusan pasal 485 itu tidak mencerminkan
kebhinekaan. Hal ini didasarkan pada sejumlah daerah seperti Mentawai, Bali dan
Minahasa yang mentolerir perbuatan tersebut. Ditakutkan bila pasal itu
diberlakukan akan menimbulkan gejolak
sosial dalam masyarakat dan bukan tidak mungkin menimbulkan disintegrasi
bangsa. Disamping itu, pendapat lain mempertanyakan
kewenangan negara yang terlalu ikut campur dalam privasi warganya. Negara
seharusnya mengurus hal-hal yang lebih besar untuk mensejahterahkan rakyat
bukan mencampuri ranah pribadi, apalagi mengkriminalisasi kebebasan seseorang.
Filosofi Kumpul Kebo
Awalnya,
kumpul kebo lahir dari budaya Eropa. Ketika itu, derajat wanita dianggap lebih
rendah dibandingkan pria. Wanita tidak mempunyai hak yang sama seperti pria dan
selalu dipersalahkan bila tidak dapat memberikan keturunan. Padahal pernikahan
tanpa keturunan sebagai penerus dianggap aib. Menyikapi permasalahan ini, kemudian
muncul fenomena hidup bersama antara pria dan wanita sebelum diresmikan dalam
pernikahan dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk mengetahui apakah
wanita yang akan dinikahi dapat memberikan keturunan atau tidak. Bila dari
hasil “ujicoba” pasangannya hamil, maka pernikahan antara keduanya akan
dilaksanakan. Namun, bila pasangannya tidak hamil, dia dicampakan begitu saja
layaknya barang bekas.
Pada
perkembangan selanjutnya, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan menjadi gaya
hidup di negara-negara barat. Hasil laporan riset Kantor Statistik Nasional
Inggris (ONS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa satu dari enam warga Inggris
hidup kumpul kebo dengan pasangannya. Data yang sama juga terjadi di Amerika
Serikat (AS) . Sebanyak 27 persen anak lahir dari orang tua yang belum menikah antara
tahun 2003 sampai 2010.
Meningkatnya
kumpul kebo di negara Barat dilatarbelakangi sejumlah faktor. Pertama,
ketidakpercayaan pada institusi pernikahan. Pernikahan di Barat dipandang
sebagai hubungan perdata antara pria dan wanita. Layaknya kontrak, ikatan
pernikahan bisa dibatalkan setiap saat. Akibatnya, negara seperti AS, Rusia,
dan Ukraina memiliki angka perceraian tertinggi di dunia. Hal ini berbeda
dengan Indonesia, dimana pernikahan merupakan ikatan lahir bathin yang bersifat
sakral dengan mengindahkan nilai-nilai agama (Undang-Undang No 1 tahun 1974
tentang perkawinan).
Kedua,
keinginan untuk hidup bebas tanpa terikat tanggung jawab sebagai suami atau
istri. Kalangan muda cendrung tidak ingin dibebani oleh urusan rumah tangga dan
anak. Kumpul kebo menjadi jalan keluar untuk permasalahan itu, dimana
masing-masing pihak memiliki ruang gerak yang bebas tanpa dicampuri satu sama
lain. Ketiga, mahalnya biaya pernikahan dan perceraian. Di negara-negara Barat,
pasangan muda-mudi harus berpikir dua kali untuk menikah disebabkan tingginya
biaya pernikahan yang harus dikeluarkan. Misalnya, di AS rata-rata biaya
pernikahan sebesar $20.000 (Rp.20 juta). Disamping itu, bila mereka bercerai
uang yang harus dikeluarkan tidak kalah fantastik. Di Inggris, biaya perceraian
bisa menembus angka 13.000 poundsterling (Rp. 190 juta).
Kewenangan Negara
Melihat
fenomena kumpul kebo yang jelas berakar dari budaya Barat dan tidak mencerminkan budaya timur yang menghormati institusi
pernikahan, maka pemerintah merasa perlu merumuskan pasal tentang kumpul kebo
dalam KUHP. Sebagaimana diketahui bahwa semangat pembaruan KUHP tidak hanya
dekolonilisasi peraturan Hindia Belanda, tetapi juga adaptasi dan hormonisasi dengan nilai-nilai
yang hidup di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat Indonesia menjunjung
tinggi moral dan memandang sumbang hidup bersama tanpa pernikahan.
Permasalahannya
kemudian, adanya ketakutan yang berlebihan timbulnya perpecahan penyeragaman aturan tersebut. Memang, tidak mungkin
membuat aturan yang universal di tengah keberagaman suku di Indonesia tapi
bukan tidak mungkin dirumuskan aturan bagi mayoritas dan dalam penerapannya
mengecualikan untuk minoritas. Prakteknya banyak terlihat dalam penegakan
hukum. Ambil contoh mengenai perkara gadai tanah yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 yang menyatakan tanah yang
digadaikan pada pemegang gadai harus dikembalikan pada pemilik gadai setelah
tujuh tahun tanpa membayar uang tebusan. Aturan ini tidak pernah diterapkan di
Sumatera Barat. Kebiasaan menurut hukum adat Minangkabau, tanah gadai
dikembalikan setelah ditebus oleh pemilik gadai.
Namun pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, tidak pernah
menggunakan pasal 7 Undang-Undang No.
56/Prp/1960 dalam mengadili perkara tanah gadai di Sumatera Barat. Sebaliknya,
hakim menggunakan hukum adat Minangkabau sebagaimana tertuang dalam Pasal 50
ayat 1 Undang-Undang no 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim wajib menggali sumber-sumber tidak
tertulis dalam masyarakat. Kasus yang sama tentu bisa diterapkan dalam
memproses dan mengadili tindakan kumpul kebo di daerah yang menjadikan
perbuatan itu sebagai adat istiadat.
Malah, ketiadaan aturan tentang kumpul kebo dapat menimbulkan
gejolak sosial dan anarkisme di tengah masyarakat. Betapa banyak kita dengar,
pelaku zina dan kumpul kebo diarak keliling kampung, dianiaya oleh warga
sekitar atau dikenakan denda yang tinggi akibat perbuatan tidak senonok yang
mereka lakukan. Lalu, siapa yang bertanggungjawab dari hukuman masyarakat itu?
Bisa jadi kesalahan negara karena negara tidak mampu melakukan pengendalian
sosial terhadap perbuatan yang tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah Donald Black
mengatakan bila pengendalian
sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak berjalan, maka bentuk
lain dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak
suka, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dan kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai
tindakan main hakim sendiri (Zainuddin Ali: 2008).
Tentunya, negara melarang suatu perbuatan mempunyai tujuan baik demi
melindungi warganya. Negara mencoba meminimalisir resiko yang timbul di
kemudian hari. Begitu pula dengan kumpul kebo, negara ingin memberikan
kepastian hukum terhadap pria dan wanita yang ingin hidup bersama dengan ikatan
pernikahan. Kumpul kebo, khusus bagi wanita dan anak yang dilahirkan dari
hubungan itu, tidak dapat memperoleh jaminan hukum. Pasangan pria bisa saja
meninggalkan wanita dan anak biologisnya tanpa pertanggungjawaban karena tidak
ada bukti tertulis bahwa mereka pernah berumah tangga. Jangankan untuk kasus
kumpul kebo, untuk kasus pernikahan tidak bercatat yang jelas-jelas sah menurut
hukum sering menimbulkan polemik
dan berujung ke meja hijau. Apalagi
kumpul kebo yang tidak jelas status
hubungannya.
Disamping itu, kriminalisasi kumpul kebo bukanlah perkara baru.
Jauh sebelum rancangan KUHP itu dibuat, kumpul kebo telah dilarang. Contoh, dalam Pasal 5 ayat 3 Sub b
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
dinyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat (termasuk
kumpul kebo) tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat dipidana tiga bulan penjara. Selanjutnya
dalam PP nomor 10 Tahun 1983 juga ditegaskan pegawai negeri sipil diancam sanksi administrasi berat bila hidup bersama
tanpa pernikahan.
Akhirnya
sebagai renungan bagi kita yang sering berkaca pada kehidupan Barat, tidak
semua daerah Barat melegalkan kumpul kebo. Di beberapa negara bagian AS seperti
Florida, North Dakota dan lima negara bagian lainnya, kumpul kebo merupakan
kejahatan yang disamakan dengan pemerkosaan. Di Florida, pelaku kumpul kebo
dikenakan denda $500 atau penjara 60 hari dan di North Dakota, pelakuknya
dikenakan denda $1000 atau penjara 30 hari. Jadi, bila negara yang menjunjung
tinggi kebebasan seperti AS melarang
kumpul kebo, kenapa negara berbudaya seperti Indonesia melegalkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar