“Ijzerman! Tak ada yang
tak mengenal keluarga itu di Belanda. Sekarang keluarga Ijzerman punya bisnis waralaba rumah makan.
Salah satunya rumah makan Indonesia”, ujar Willem antusias ketika kami melihat
foto lama bertahun 1892 di Gedung Infobox yang memajang foto-foto Sawahlunto di
zaman baheula. Di foto itu terlihat J.W Ijzerman, pria yang menjadi kakek atau
buyut dari orang diceritakan Willem, tengah berfoto dengan latar pekerja
tambang di Sawahlunto kala itu.
“Mr. Ijzerman, pernah
menjadi kepala pertambangan di Sawahlunto dari tahun 1892-1896. Dia memimpin
proyek tiga
serangkai yakni membangun tambang batu bara, jalur kereta api yang tadi kita
lihat di museum kereta api yang menghubungkan sawahlunto dan Padang dan pembangunan pelabuhan Teluk Bayur di Padang,” cerita saya sambil menterjemahkan artikel
google yang saya temukan tentang Mr. Ijzerman.
Pria separuh baya di
depan saya mengangguk. Saya sedang menjadi tour
guide dadakan untuknya. Willem, turis asal Belanda yang saya kenal melalui
media sosial sejak beberapa tahun lalu, sengaja saya paksa memasukan Sumatera
Barat dalam destinasi liburannya di Indonesia dan konsekuensinya saya menjadi
pemandu wisatanya. Sama seperti hari ini, saya membawanya ke Sawahlunto.
“The buildings in this little town
looked so familiar. Just like being home in The Netherlands!” komentar Willem
yang tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika kami memasuki kota
Sawahlunto dan melihat bangunan tua bercorak Eropa.
Sejatinya Sawahlunto
yang berjarak 95 km dari Padang, ibukota Sumatera Barat, pernah menjadi
primadona di masa lalu. Batu bara yang terkandung di perut buminya mengundang
orang-orang Belanda ke datang ke sana. Adalah W.H. Van de Greeve, seorang
insinyur Belanda, yang menemukan cadangan batu bara berjenis antrasit dengan kadar
karbon 86-98 % dan kadar air kurang dari 8% di lembah perbukitan Sawahlunto. Penemuan batu bara ini membuat geger pemerintah Hindia
Belanda yang memang sedang mencari pemasukan dana karena minimnya kas negara
akibat peperangan di negeri jajahan. Akhirnya mereka
menginvestasinya dana besar untuk mengeksploitasi batu bara dan membangun sejumlah
infrastruktur pendukung.
Pembangunan tersebut
mengubah Sawahlunto dari belantara menjadi kota bercorak Eropa. Maka tak heran
Sawahlunto kemudian dijuluki sebagai Little
Holand. Sekarang setelah kejayaan emas hitam itu memudar dengan habisnya
batu bara disana, Sawahlunto menjelma menjadi kota wisata tambang. Bangunan-bangunan
lama yang ditinggalkan setelah tidak beroperasinya pertambangan, disulap
menjadi museum, hotel, bahkan menjadi masjid seperti Mesjid Nurul Islam yang
dulunya adalah bangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Uniknya menara
cerobong PLTU dijadikan menara masjid sehingga masjid Nurul Islam menjadi masjid
dengan menara tertinggi di Indonesia yakni 10 meter.
Setelah berkeliling
melihat foto-foto lawas di Gedung Infobox, saya mengajak Willem ke Lubang Mbah
Soero yang terletak disamping gedung tersebut. Lubang Mbah Soero adalah lubang tambang
yang dibangun tahun 1898. Disebut Lubang Mbah Soero karena mandor pekerja
tambang kala itu bernama Mbah Soero. Lubang itu ditutup tahun 1932 karena
tingginya rembesan air dan dibuka kembali tahun 2007 untuk kepentingan wisata.
Beruntung saya dan Willem bisa memasuki lubang tambang itu. Kami dibekali topi
proyek dan sepatu bot sebelum memasuki lubang tambang itu. Dan lagi-lagi Willem
dibuat takjub melihat batu bara hitam mengkristal di dinding lubang tambang.
“Kebanyakan orang Belanda tidak tahu tentang Sawahlunto. Tapi di sekolah,
kami diajarkan mengenai pertambangan batu bara di Sumatera dan betapa
pentingnya batu bara tersebut untuk pembangunan industri di Belanda dan Hindia
Belanda”.
“Namun, ada hal lain yang perlu anda tahu tentang Sawahlunto”.
Dia menunjukan ketertarikannya seakan tidak sabar mendengar cerita dari
saya.
“Sebuah cerita kelam tentang kejayaan Sawahlunto di masa lalu. Manusia
rantai”
Willem terlihat tidak mengerti tentang apa yang saya maksud. “Manusia
rantai adalah para pekerja
tambang. Mereka merupakan tahanan yang didatangkan dari sejumlah penjara
di Sumatera dan Jawa serta diberlakukan tidak manusiawi. Bekerja tanpa diupah
dan kaki mereka dirantai dengan bola pemberat dari besi supaya tidak melarikan
diri. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai manusia rantai”.
Saya menunjukan tumpukan batu berbentuk batang yang disusun bersilang di
depan Museum Gudang Ransum yang baru kami masuki. “Batu itu adalah nisan para
manusia rantai. Coba anda lihat di batu itu, tidak ada nama hanya ada nomor
sebagai identitas yang juga ditatto di tubuh para manusia rantai. Ketika mereka
meninggal, nisan mereka ditandai dengan nomor tersebut”.
Wajah Willem berubah. Dia terlihat menelan ludah.
“Maaf saya tidak bermaksud menceritakan kekejaman penjajahan Belanda di
masa lalu tapi ini adalah sebuah fakta yang harus saya ceritakan.”
“Saya mengerti. Masa lalu Belanda di Indonesia bukanlah cerita indah
tapi saya berharap kita belajar dari sejarah dan membuka pintu untuk hubungan
yang solid di masa mendatang.”
Saya sependapat
dengannya. Sawahlunto memang menyisakan cerita sedih dibalik kejayaan emas hitam. Ada jeritan pilu manusia rantai
ditengah gemerlapnya kota yang diisi hiburan di Rumah Komidi yang sekarang
menjadi kantor Pegadaian atau tawa riuh
para pejabat tambang Belanda yang sedang bermain bilyar dan bowling di Rumah Bola yang sekarang
beralihfungsi menjadi Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Namun, apapun kisah
masa lalu itu, Sawahlunto tetapi menarik untuk ditelusuri, baik dari sudut
pandang saya seorang Indonesia ataupun dari sudut pandang Willem seorang
Belanda.