Pengikut

Minggu, 02 November 2014

Menengok Kotanya Jokowi: Solo



Gue meninggalkan Batam dan melanjutkan liburan ke Solo. Dari Batam ke Solo, gak ada penerbangan langsung. Gue harus transit di Jakarta. Ini penerbangan transit pertama gue.  Biasanya gue cuma terbang dari Padang ke Jakarta atau sebaliknya. Agak kikuk juga. Gak tau gimana caranya setelah sampai di bandara transit kita harus ngapain. Untung aja gue bareng teman, jadi gue gak kelihatan kampungan banget. Ternyata gak sesulit gak gue bayangin. Sampai di bandara,  petugas bandara memandu untuk melapor di bagian transit. Trus kita diarahin ke  ruang tunggu pintu keberangkatan untuk menunggu pesawat sesuai jadwal. Tapi sebelumnya masuk ke ruang tunggu, harus ngelapor lagi buat nukar boarding pass baru. Gak perlu bayar lagi.
 Meninggalkan bandara Hang Nadim Batam
Gue sampai di bandara Adi Sumarmo, Solo sore hari. Bandaranya tidak terlalu besar dan  terletak di luar kota Solo. Jarak dari bandara ke kota kira-kira setengah jam.  Keluar dari bnadara gue melihat pemandangan yang agak aneh. Banyak orang di pinggir jalan. Gue pikir ada kecelakaan atau pasar kaget. Gue tanya ama sopir taksi. Katanya, orang-orang itu lagi nontonin pesawat terbang. Mereka berdiri di pagar-pagar pembatas bandara dan melihat pesawat landing atau take off. Sebenarnya udah dilarang ama pemda setempat tapi jalanan luar bandara selalu ramai setiap sorenya sebagai “objek wisata” yang dipenuhi muda-mudi kongkow-kongkow atau pacaran atau orang tua yang memperlihatkan “atraksi” pesawat terbang pada anak-anaknya.
Malamnya, abis mandi dan perut terasa lapar. Gue bareng teman gue yang bule itu pengen ke Galabo. Galabo adalah  food court di Solo. Berada di jalan Mayor Sunaryo yang malamnya disulap menjadi kawasan kuliner. Jadi  kalian gak akan nemuian Galabo siang-siang karena merupakan jalan yan dilalui kendaraan. Galabo sendiri hadir dari ide kreatif Jokowi waktu masih menjadi walikota Solo.

Gue kesana naik becak. Awalnya cuma pengen ke Galabo aja tapi resepsionis hotel kasih saran kenapa gak keliling kota Solo aja naik becak. Solo gak terlalu besar dan kita bisa lihat objek wisata seperti alun-alun Kidul, keraton Kasuhunanan, Pura Mangkunegaraan dan berakhir di Galabo dengan sekali jalan.
 Keraton kasuhunan di malam hari
Alun-alun Kidul ramai di malam hari. Banyak orang berjualan dan ada becak yang dihias dengan lampu berkelap-kelip. Kami juga melewati kandang kerbau (atau mungkin sapi karena gak terlalu jelas) di belakang Keraton Kasuhunanan. Katanya itu adalah kerbau keramat yang hanya di keluarkan ketika ada upacara-upacara tertentu. Keraton tidak buka di malam hari tapi kami bisa mengambil foto di pintu masuk keraton
 Becak hias di alun-alun Kidul
Dalam perjalanan ke Galabo, gue lihat banyak orang berjualan Makan di pinggir jalan yang menjadikan emperan toko sebagai tempat duduk pengunjungnya. Orang-orang Solo sepertinya suka makan lesehan ketimbang makan menggunakan meja dan duduk di kursi. Mereka lebih suka duduk di atas tikar dan makan bersama teman dan keluarga di sana. Di Galabo, gue pesan sate kambing lilit dengan kuah kecap dan segelas air jahe untuk meredakan masuk angin gara-gara gak pake sweater berkeliling Solo dengan becak. 


Minggu, 19 Oktober 2014

BERHENTILAH BERANDAI!



Seandainya aku seorang prince, lord atau duke, alangkah senang hidup ini kurasakan. Hidup sebagai seorang bangsawan yang dihormati. Apa yang dinginkan terpenuhi dan mempunyai kekayaan yang tak akan pernah habis tujuh turunan. Semuanya akan terasa lengkap dengan kastil megah serta puluhan pengawal yang selalu setia menjaga keamanan tuannya.
 
Sayangnya, hal itu hanya ada dalam mimpi. Kehidupanku bertolak belakang dari ilustasi tersebut. Aku hanyalah rakyat jelata, tepatnya seorang mahasiswa yang tinggal di kamar kost sempit dengan uang saku pas-pasan. Jangankan gelar prince, lord atau duke, gelar sarjana pun masih enggan bergandengan dengan namaku.
Belakang ini, aku sering larut dalam perasaanku sendiri. Aku senang berangan-angan dan menyendiri di kamar kost. Kubangun “kerajaan” sendiri di dunia semu. Tentunya, aku yang menjadi rajanya. Apa yang kuinginkan kudapatkan di sini, termasuk masa depan yang cerah. Di benakku terlihat sebuah kehidupan yang mapan. Aku punya pekerjaan  bagus, rumah yang megah, mobil yang mengkilat dan keluarga kecil yang bahagia



Namun, khayalan itu tidak berlangsung lama. Slide di otakku berganti. Sekarang terlihat seorang mahasiswa yang terburu-buru mandi pagi karena hampir terlambat kuliah. Setelah itu, dia harus berebut bus kota dengan puluhan orang yang juga akan berangkat ke tempat aktifitas mereka masing-masing. Gerah dan sumpek, itu yang dirasakan mahasiswa tadi.
Slide di otakku masih berputar. Sekarang gambarnya memperlihatkan mahasiswa yang sama yang sedang melihat isi dompetnya. Hanya ada dua lembar uang dua puluh ribuan.

“Ah, tinggal segini, padahal tanggal satu masih lama”, gerutunya.
Adegan berikutnya, si mahasiswa malang itu tengah bertransaksi dengan temannya. Bukan transaksi jual beli tetapi transaksi peminjaman uang untuk menutup defisit pengeluarannya. Adegan itu berlangsung berulang dengan beberapa orang berbeda. Akhir dari setiap adegan selalu sama yakni satu kata penolakan, “maaf”, seolah dia adalah seorang pengemis. Barulah ketika “dana segar” didapatkannya, adegan itu berakhir dengan wajah senang si mahasiswa seperti wajah seorang buruh kasar yang baru saja menerima gaji.
Ah, kepalaku sakit. Bayangan kehidupan nyata selalu merusak mimpi-mimpi indahku. Penderitaan keseharianku bagaikan meriam yang meruntuhkan tembok mimpi yang kubangun. Dia melemahkan potensi yang membuatku tidak bergairah dan stres.
Angan-angan dan potret kesusahan hidup yang kualami saling tarik menarik. Keduanya datang silih berganti seperti pentas teater di otakku. Ketika aku stres karena suatu masalah, maka aku akan mengurung diri di kamar dan menghindari interaksi dengan dunia luar kecuali pergi kuliah. Aku membayangkan keseharian yang lebih menyenangkan. Berandai-andai hidup tenang, tanpa masalah dan berkecukupan. Namun, ketenangan itu terusik akan bayangan masalah yang belum kutemukan solusinya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Aku rasa orang lain tidak mengalami hal yang kualami, lari dari masalah dan bersembunyi di dunia semu. Apakah aku sudah gila atau aku sedang mengalami krisis kepribadian yang parah?
Aku termenung di sudut kamarku. Otakku berpikir keras.
“Aku tidak gila!”.
Ruangan ini membisu. Dia tidak memberiku jawaban. Tiba-tiba terdengar suara. “Kau tidak gila, tapi kau mengalami sedikit gangguan kejiwaan”.

Aku meneriakan lagi kata tidak. Suara itu kembali terdengar. “Coba kau pikirkan ketika orang lain mendapatkan masalah mereka berusaha tegar menghadapinya.  Mereka tidak mengurung diri sepanjang hari di kamar dan mereka tidak lari ke dunia semu. Mereka berusaha menantang dunia nyata”.
Aku belum bisa menerima kata hatiku itu. Lama aku menekur, sampai hati kecilku kembali berbicara. “Kalau kau hanya menanam andai, maka kau hanya akan menuai mimpi. Tetapi bila kau menanam tekad, memupuk usaha maka kau akan menuai hasil dari cita-cita”.
Ya, mungkin ada benarnya. Selama ini aku lemah pada diriku sendiri. Aku tidak dapat menaklukan masalah karena aku tidak mencari solusinya. Aku hanya berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Untuk beberapa persoalan cara itu memang terbukti. Namun, untuk beberapa masalah lain hanya mengendapkan masalah sementara waktu, kemudian masalah itu berevolusi dalam bentuk baru  yang lebih rumit.
Aku harus berubah. Aku sudah dewasa dan harus mampu menghadapi masa depan yang penuh rintangan. Tidak akan ada keajaiban seperti dalam cerita dongeng, di mana akan datang peri baik hati yang membantu dengan kekuatan sihirnya. Keajaiban itu adalah diriku sendiri. Kekuatan akal dan hati yang diberikan Tuhan akan menjadi senjata untuk mengubah kehidupanku menjadi lebih baik.
Ruangan ini kembali senyapun sesaat. Dan beberapa waktu kemudian sebuah suara bergema. “Buka gorden jendelamu bujang! Lihatlah matahari telah tinggi. Langkahkan kakimu keluar dan tantanglah dunia! Karena setiap tapak yang kau langkahkan adalah masa depanmu!”

  NB: Tulisan ini pernah dimuat di harian sindo tahun 2007 ato 2008. lupa saking lamanya :)

Jumat, 23 Mei 2014

“PUSING-PUSING” DI PULAU PENYENGAT

Bila India punya Taj Mahal sebagai perlambang cinta  Syah Jehan pada permaisurinya, Mumtaz Mahal, maka Indonesia juga punya monumen cinta antara dua anak cucu Adam (kayak judul sinetron J) Bedanya, monumen cinta bukan buatan manusia tetapi berupa sebuah pulau kecil. Adalah Sultan Mahmud Syah III (1760-1812) yang menghadiahkan pulau Penyengat Indrasakti pada permaisurinya, Raja Hamidah, yang kemudian bergelar Engku Puteri sebagai hadiah pernikahan. 
Pada awalnya ada cerita unik, kenapa pulau itu diberi nama Pulau Penyengat. Alkisah, pulau yang berhadapan dengan kuala Sungai Riau itu selalu dijadikan  tempat pemberhentian oleh pelaut, terutama untuk mengambil air tawar. Suatu ketika ketika seorang pelaut mengambil air, dia disengat oleh sejenis lebah sampai meninggal. Lebah itu kemudian dianggap sakti oleh para pelaut sehingga pulau itu diberinama Pulau Penyengat Inderasakti. 
Dalam perkembangan berikutnya, pulau tersebut menjadi pusat kerajaan melayu Riau dan menjadi benteng pertahanan dari serangan musuh. Adalah Yang Dipertuan Muda Riau IV atau yang masyur  bergelar Raja Haji Fisabililah Marhum Mangkat Ketapang yang menjadikan Pulau Penyengat sebagai kubu pertahanan melawan Belanda
Begitu tiba di dermaga pulau penyengat kita akan disambut oleh masjid Sultan Riau, yang konon kabarnya tidak memakai semen tapi batu-batunya direkatkan dengan putih telur. Atap masjid itu berjumlah 13 buah  dengan empat menara yang bila dijumlahkan melmbangkan 17 rakaat sholat sehari semalam. Di dalamnya, masih terdapat salah satu alqur’an tertua yang ditulis tangan yang merupakan peninggalan kesultanan Riau.


Begitu bentornya jalan, gw baru tau kenapa gak ada angkot disini. Jalannya kecil banget. Suasananya tenang dan banyak pepohonan. Tempat ini cocok untuk memenangkan diri. Tujuan pertama kami adalah  mengunjungi kuburan Raja Ali Haji. Beliau adalah pahlawan nasional  dan dikenal sebagai bapak bahasa Indonesia/melayu. Karyanya yang monumental adalah gurindam dua belas yang berisi 12 untaian pesan moral.


Makam beliau terletak di satu kompleks dengan makam raja, permaisuri dan bebrapa pejabat kerajaan lainnya. Memasuki makam, di dinding bangunan bagian dalam kita dapat membaca  isi dari gurindam dua belas tersebut.
Puas membaca gurindam dan tak lupa mengirimkan alfatihah untuk mereka yang dikubur disana, gue dibawa ke kuburan berikutnya. Di Pulau penyengat  terkenal dengan banyak kuburan para raja dan pembesar Riau di masa lalu. Jadi, wisatanya merupakan wisata sejarah.
Salah satu makam yang kami kunjungi adalah makam pahlawan nasional yang lain yang juga  Raja melayu riau. Namanya Raja Haji Fisabililah. Beliau adalah pahlawan dalam perang laut melawan Belanda.

enurut cerita yang gue dengar, mitosnya kuburan Raja haji Fisabililah itu  keramat. Suasana makamnya agak mistis dan terasa aura lain. Gue sih gak percaya begituan. Itu syirik namanya. Orang yang sudah meninggal tidak bisa memberikan syafaat, berkat atau semacamnya. Justru, mereka meminta doa dari orang yang masih hidup seperti kita.
Setelah dari makam kita melewati istana kantor. Tempat itu dulunya adalah  tempat kerjanya raja Ali Haji. Sayangnya tempat itu tidak  buka. Dari luar gue lihat tempatnya kurang terawat. Puas  berkeliling  di tengah pulau, bentor membawa kami ke pesisir pantai. Di sana terdapat  Balai Adat Melayu Riau
Bentuknya seperti rumah panggung. Di dalamnya ruangan lepas yang disangga tiang-tiang.  Terdapat tiga pelaminan di  ujung ruangan. Biasanya digunakan orang Pulau Penyengat yang meyelenggarakan pesta pernikahan. Di  dinding sisi kiri dan kanan ruangan terpajang foto-foto raja melayu riau beserta dengan tahun pemerintahan
Sebelum  mengunjungi  masjid Sultan Riau,  lebih baik  mengisi perut dulu. Bapak tukang bentor merekomendasikan  tempat makan enak. Gue lupa namanya tapi lokasinya tak jauh dari Balai Adat. Di lokasi itu kita bisa melihat reruntuhan istana Raja Melayu Riau.

Senin, 31 Maret 2014

HAMPIR TENGGELAM DI PULAU PENYENGAT



Hari kedua di Batam, gue  bareng teman gue melanjutkan jalan-jalan ke pulau Penyengat. Pulau Penyengat berada di  perairan Pulau Bintan. Pulau Bintan sendiri berada di sisi timur pulau Batam. Di pulau Bintan terletak ibukota provinsi Kepulauan Riau.  kota Tanjung Pinang.
Dari Batam ke Bintan kita harus menyebrang menggunakan kapal ferry kecil dari pelabuhan teluk Punggur. Lama perjalanannya 1 jam dengan harga tiket Rp.40.000. Jangan kaget bila sampai di pelabuhan Punggur mendengar orang berteriak-teriak menjajakan tiket ferry. Hal itu wajar karena banyak perusahaan ferry yang melayani rute Batam-Bintan setiap setengah jam sekali.
 Pelabuhan Sri Bintan Pura
Sampai di pelabuhan Sri Bintanpura, Tanjung Pinang, kita harus menyambung  naik pompong atau sebutan untuk perahu motor dari kayu berukuran kecil. Pompong merupakan angkutan rakyat, maksudnya transportasi yang dimiliki oleh orang perorangan dan bukan dikelola oleh pemerintah. Karena itu, pompong  tidak bersandar di pelabuhan Sri Bintan Pura tapi di sebelah pelabuhan itu. Cara untuk mencapai pelabuhan pompong, kita harus keluar dari pelabuhan utama. Berjalan ke aarah kiri kira-kira 50 meter sampai bertemu persimpangan pertama, yang lebih mirip gang, masuk ke dalam. Tak beberapa meter kita akan menemukan papan yang menunjukan dermaga menuju pulau penyengat.
Susuri jalan kecil itu. Lalu, kita akan menjumpai dermaga pompong. Dari dermaga itu kita melihat betapa dekatnya  pelabuhan Sri Bintan Pura. Ah, seandainya pemerintah daerah membuat jembatan yang menghubungkan kedua dermaga itu, wisatawan seperti kami tak perlu kebingungan mencari jalan. 
Anehnya ada jalan tikus yang menghubungkan kedua dermaga itu. Biasa digunakan penduduk sekitar sebagai jalan pintas. Yakni dengan memanjat dinding rumah penduduk yang memisahkan kedua dermaga itu. Dari mana gue tau? Karena gue salah satu wisatawan “cerdas” yang ikut memanjat dinding itu ketika kami dikejar waktu hendak balik ke Batam. Ceritanya kami berjalan bergegas setengah berlari mengejar ferry yang akan berangkat ke Batam. Bila terlambat, kami harus menunggu setengah jam lagi untuk naik ferry berikutnya.
Seorang bapak yang berjualan di  dermaga melihat kami. “Ee..lajunye jalan macam boat”, katanya dengan dialek Melayu.
“Iya pak, kami sedang mengejar ferry ke Batam!” tanggap gue sambil sambil terus berjalan.
“Bilanglah dari tadi, “ Bapak itu ikut berjalan bergegas. “saye tunjukan awak jalan pintas ke pelabuhan.”
Gue dan teman gue mengikuti bapak itu sampai ke ujung jalan keluar. “Di belakang dinding ni pelabuhan. Awak  bise panjat dinding ni.”
Gue melongo dan bertukar pandangan dengan teman gue.
“Tunggu ape lagi. Awak nak cepat, ini jalannye.”
Tembok itu tidak terlalu tinggi. Cuma 2 meter dan ada batu pijakannya. Pertanda, tembok itu sering digunakan sebagai jalan pintas. Gue melirik teman gue. Dia mengangguk. Dan akhirnya gue panjat dinding itu dan ajaib! Kit sampai di depan pelabuhan Sri Bintan Pura.
 orang turun dari pompong
Balik lagi ke cerita awal. Seperti yang gue bilang tadi pompong adalah perahu kecil yang merakyat. Satu pompong bisa memuat 15 orang dan  kita hanya perlu membayar Rp.5000 per orang. Tapi seperti angkot, pompong akan ngetem dulu sampai menunggu muatannya penuh 15 orang. Kalau ingin cepat kita bisa menyewa pompong untuk sekali jalan Rp. 75.000 saja.
Pompongnya penuh
Sebenarnya dari penampilannya, pompom tidak terlalu menyakinkan. Pompong terlihat tua dan tidak ada  sarana keselamatan bila terjadi keadaan darurat. Walaupun begitu gue cukup senang pada awalnya, bisa naik pompon menyusuri perairan antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Perairannya tenang dan hanya butuh 10 menit atau 1,6 km dari dermaga Sri Bintanpura.

Mesjid Sultan Riau  menyambut kedatangan kami di Pulau Penyengat
Tapi pandangan gue berubah ketika balik dari pulau Penyengat menuju Bintan. Pompongnya bocor di tengah laut! Air mengenang di dasar pompong. Mendadak suasana berubah panik. Gue yang gak bisa berenang apalagi. Untung aja ada yang penumpang yang sigap menimba air yang terus menggenang  yang hampir menggenangkan pompong.
Ibu ini ikut panik. dah rapi-rapi mau pergi kondangan. gak lucu kan kalau harus basah-basah
Turun dari Pompong, gue gak bisa menyembunyikan kekesalan. Gue marah-marah sama pemilik pompong. Apa dia gak periksa pompongnya bocor. Orang-orang yang sudah antri pengen naik ke pompong itu gue larang. Gue bilang pompongnya bocor.  Tapi teman gue bilang, gak usah mengurusi itu karena kami harus cepat balik ke Batam.
Dari pengalaman itu gue berpikir kenapa tidak ada perhatian pemerintah daerah terhadap keselamatan dan kondisi pompong. Pengguna pompon bukan saja penduduk lokal tetapi juga wisatawan. Kalau pengalaman seperti gue terjadi pada wisatawan lain, maka mereka akan membawa cerita buruk itu ke negeri mereka. Akibatnya akan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisata ke pulau Penyengat. Apalagi gue dengar pemerintah sedang mengajukan pulau Penyengat sebagai situs warisan dunia. Bagaimana mungkin nantinya situs warisan dunia yang biasanya banyak dikunjungi wisatawan ternyata tidak memperhatikan prosedur keselamatan?