Pengikut

Senin, 31 Maret 2014

HAMPIR TENGGELAM DI PULAU PENYENGAT



Hari kedua di Batam, gue  bareng teman gue melanjutkan jalan-jalan ke pulau Penyengat. Pulau Penyengat berada di  perairan Pulau Bintan. Pulau Bintan sendiri berada di sisi timur pulau Batam. Di pulau Bintan terletak ibukota provinsi Kepulauan Riau.  kota Tanjung Pinang.
Dari Batam ke Bintan kita harus menyebrang menggunakan kapal ferry kecil dari pelabuhan teluk Punggur. Lama perjalanannya 1 jam dengan harga tiket Rp.40.000. Jangan kaget bila sampai di pelabuhan Punggur mendengar orang berteriak-teriak menjajakan tiket ferry. Hal itu wajar karena banyak perusahaan ferry yang melayani rute Batam-Bintan setiap setengah jam sekali.
 Pelabuhan Sri Bintan Pura
Sampai di pelabuhan Sri Bintanpura, Tanjung Pinang, kita harus menyambung  naik pompong atau sebutan untuk perahu motor dari kayu berukuran kecil. Pompong merupakan angkutan rakyat, maksudnya transportasi yang dimiliki oleh orang perorangan dan bukan dikelola oleh pemerintah. Karena itu, pompong  tidak bersandar di pelabuhan Sri Bintan Pura tapi di sebelah pelabuhan itu. Cara untuk mencapai pelabuhan pompong, kita harus keluar dari pelabuhan utama. Berjalan ke aarah kiri kira-kira 50 meter sampai bertemu persimpangan pertama, yang lebih mirip gang, masuk ke dalam. Tak beberapa meter kita akan menemukan papan yang menunjukan dermaga menuju pulau penyengat.
Susuri jalan kecil itu. Lalu, kita akan menjumpai dermaga pompong. Dari dermaga itu kita melihat betapa dekatnya  pelabuhan Sri Bintan Pura. Ah, seandainya pemerintah daerah membuat jembatan yang menghubungkan kedua dermaga itu, wisatawan seperti kami tak perlu kebingungan mencari jalan. 
Anehnya ada jalan tikus yang menghubungkan kedua dermaga itu. Biasa digunakan penduduk sekitar sebagai jalan pintas. Yakni dengan memanjat dinding rumah penduduk yang memisahkan kedua dermaga itu. Dari mana gue tau? Karena gue salah satu wisatawan “cerdas” yang ikut memanjat dinding itu ketika kami dikejar waktu hendak balik ke Batam. Ceritanya kami berjalan bergegas setengah berlari mengejar ferry yang akan berangkat ke Batam. Bila terlambat, kami harus menunggu setengah jam lagi untuk naik ferry berikutnya.
Seorang bapak yang berjualan di  dermaga melihat kami. “Ee..lajunye jalan macam boat”, katanya dengan dialek Melayu.
“Iya pak, kami sedang mengejar ferry ke Batam!” tanggap gue sambil sambil terus berjalan.
“Bilanglah dari tadi, “ Bapak itu ikut berjalan bergegas. “saye tunjukan awak jalan pintas ke pelabuhan.”
Gue dan teman gue mengikuti bapak itu sampai ke ujung jalan keluar. “Di belakang dinding ni pelabuhan. Awak  bise panjat dinding ni.”
Gue melongo dan bertukar pandangan dengan teman gue.
“Tunggu ape lagi. Awak nak cepat, ini jalannye.”
Tembok itu tidak terlalu tinggi. Cuma 2 meter dan ada batu pijakannya. Pertanda, tembok itu sering digunakan sebagai jalan pintas. Gue melirik teman gue. Dia mengangguk. Dan akhirnya gue panjat dinding itu dan ajaib! Kit sampai di depan pelabuhan Sri Bintan Pura.
 orang turun dari pompong
Balik lagi ke cerita awal. Seperti yang gue bilang tadi pompong adalah perahu kecil yang merakyat. Satu pompong bisa memuat 15 orang dan  kita hanya perlu membayar Rp.5000 per orang. Tapi seperti angkot, pompong akan ngetem dulu sampai menunggu muatannya penuh 15 orang. Kalau ingin cepat kita bisa menyewa pompong untuk sekali jalan Rp. 75.000 saja.
Pompongnya penuh
Sebenarnya dari penampilannya, pompom tidak terlalu menyakinkan. Pompong terlihat tua dan tidak ada  sarana keselamatan bila terjadi keadaan darurat. Walaupun begitu gue cukup senang pada awalnya, bisa naik pompon menyusuri perairan antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Perairannya tenang dan hanya butuh 10 menit atau 1,6 km dari dermaga Sri Bintanpura.

Mesjid Sultan Riau  menyambut kedatangan kami di Pulau Penyengat
Tapi pandangan gue berubah ketika balik dari pulau Penyengat menuju Bintan. Pompongnya bocor di tengah laut! Air mengenang di dasar pompong. Mendadak suasana berubah panik. Gue yang gak bisa berenang apalagi. Untung aja ada yang penumpang yang sigap menimba air yang terus menggenang  yang hampir menggenangkan pompong.
Ibu ini ikut panik. dah rapi-rapi mau pergi kondangan. gak lucu kan kalau harus basah-basah
Turun dari Pompong, gue gak bisa menyembunyikan kekesalan. Gue marah-marah sama pemilik pompong. Apa dia gak periksa pompongnya bocor. Orang-orang yang sudah antri pengen naik ke pompong itu gue larang. Gue bilang pompongnya bocor.  Tapi teman gue bilang, gak usah mengurusi itu karena kami harus cepat balik ke Batam.
Dari pengalaman itu gue berpikir kenapa tidak ada perhatian pemerintah daerah terhadap keselamatan dan kondisi pompong. Pengguna pompon bukan saja penduduk lokal tetapi juga wisatawan. Kalau pengalaman seperti gue terjadi pada wisatawan lain, maka mereka akan membawa cerita buruk itu ke negeri mereka. Akibatnya akan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisata ke pulau Penyengat. Apalagi gue dengar pemerintah sedang mengajukan pulau Penyengat sebagai situs warisan dunia. Bagaimana mungkin nantinya situs warisan dunia yang biasanya banyak dikunjungi wisatawan ternyata tidak memperhatikan prosedur keselamatan?

Minggu, 09 Maret 2014

Trip To Batam: Patung Dewi Kwan Im dan Jembatan Barelang



Kabut asap datang lagi. Baru bulan juni tahun lalu kabut kiriman dari pembakaran lahan menyelimuti hampir seluruh pulau Sumatera, bahkan menjalar ke Singapura dan Malaysia. Sampai-sampai presiden harus  meminta maaf pada pemerintah kedua negara itu karena “ekspor” asap bertahan lebih dari satu bulan.
Baru tujuh bulan dari kiriman kabut asap, pertengahan Februari ini “tsunami” asap kembali menutup langit pulau Sumatera. Gue heran kabut asap ini kok seperti lebaran. Datangnya dua kali setahun. Anehnya lagi pemberitaan di TV selalu menyebut “tsunami” asap yang  telah menjadi agenda tahunan itu dengan sebutan “bencana”. Bencana dari mana? Kalau banjir, gunung meletus atau gempa bolehlah disebut bencana karena datang secara alami diluar kehendak manusia. Nah, ini? Hutan itu dibakar! Dibakar oleh tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. “Tsunami” asap itu bukan bencana tapi keteledoran atau pembiaran dari pemerintah.
Udahlah, gue gak akan membahas tentang kabut asap tapi bercerita tentang pengalaman gue liburan ke Batam  Juni tahun lalu. Kebetulan  Batam sedang dilanda kabut asap waktu itu. Sebelum berangkat dari Padang sempat ketar-ketir juga. Takut-takut  pesawat  tidak bisa mendarat atau delay beberapa jam karena tebalnya kabut asap. Beberapa hari sebelum berangkat gue liat di TV  tentang  penundaan take off dan landing ulah kabut asap.
Alhamdulillah semuanya lancar. Gue berangkat dari Bandara International Minangkabau, Padang pukul 12.05   dan sampai di bandara Hang Nadim, batam pukul 13.10. Gue naik Citilink. Waktu itu harga tiketnya Rp. 362.000. Sekarang  sejak kenaikan tiket pesawat per 1 maret 2014, harga tiket Padang-Batam naik Rp. 48.000 dari harga dasar.

Sampai di Hang Nadim ketemu ama  teman trus kita langsung ke Harris Resort Hotel di kawasan Marina. Perjalanan lumayan jauh. Kira-kira satu jam karena hotel tempat kami menginap terletak di bagian barat pulau Batam  sedangkan bandara berada di sisi timur. Belum lagi harus memperhitungkan kemacetan di jalan. Tenang, macetnya Batam tak separah Jakarta. Biasanya macet  terjadi di persimpangan jalan atau  ketika lampu merah.

Sebenarnya hotelnya keren. Berada di di tepi pantai dan dekat dengan akses penyebrangan ke Singapura. Ada private beachnya dan kalau sore bisa liat sunset. Tapi itu tadi.. asap menutupi keindahannya.
Berada di hotel itu serasa berada di drama-drama Taiwan karena lebih banyak orang-orang Tionghoa yang menginap. Ada juga orang-orang India. Mungkin mereka orang singapura atau Malaysia yang  tengah berlibur di sini.

   Nie diambil dari kamar hotel di hari ketiga gue di Batam. 
Kabut asapnya dah mulai hilang

Btw dari Batam ada  lima pelabuhan feri internasional yang menghubungkan  Batam dan Singapura yaitu Batam Center, Batu Ampar, Nongsa, Waterfront City dan Sekupang. Dermaga feri yang dekat dengan hotel tempat gue menginap adalah Waterfront City. Sayangnya, perjalanan kali ini gue gak menjadwalkan pelesiran ke Singapura
Setelah beristirahat sebentar, kita dijemput mobil rental untuk  jalan-jalan sore keliling Batam. Berbekal hasil pencarian di internet, gue menelpon beberapa jasa penyewaan mobil dan membandingkan harga yang mereka tawarkan. Akhirnya setelah nego, dapat harga yang sesuai. Rp. 400.000 termasuk sopir dan BBM dari jam 4 sore sampai jam 12.00 malam.
Tujuan pertama ke KTM Resort. Bukan untuk pindah hotel tapi melihat patung Dewi kwan Im tertinggi di Indonesia. Tingginya 22.37 meter. Dibangun oleh pengusaha Singapura pemilik dari KTM resort. 

Awalnya patung  akan ditempatkan di atas Bukit menghadap laut. Namun,  ada pertentangan dari pemuka masyarakat Batam yang takut nantinya patung tersebut akan jadi  landmark Batam seperti patung Kristus di Brasil atau di Timor Leste, sedangkan sebagian besar penduduk Batam beragama Islam, maka patung tersebut ditempatkan di bawah bukit dengan tetap menghadap ke laut.
Disamping patung raksasa dewi yang terkenal welas asih dalam keyakinan Budha tersebut dibangun kuil/klenteng  tempat berdoa. Waktu gue kesana ada beberapa orang etnis Tionghoa sedang berdoa sambil membakar dupa. 

Di pagar klenteng terlihat patung-patung kecil yang menjadi lambang shio  berdasarkan tahun kelahiran. Sayangnya,  kabut asap menutup indahnya pantai di depan klenteng sehingga tidak banyak yang bisa difoto disini

Kami melanjutkan perjalanan ke  Jembatan Barelang. Awalnya  pengen mengunjungi  bekas camp pengungsi Vietnam di pulau Galang. Jalannya melewati jembatan Barelang juga. Tapi karena perjalanan kesana lumayan jauh dan hari telah sore jadi kami memutuskan cukup ke jembatan Barelang saja.
Jembatan ini adalah landmark Batam. Dibangun atas prakarsa mantan presiden Habibie ketika masih menjabat kepala otorita Batam. Barelang sendiri merupakan kependekan dari Batam Rempang dan Galang, yakni tiga pulau yang menghubungkannya. Jembatan itu terdiri atas enam jembatan yang dinamai dengan nama tokoh melayu Riau.  Keenam jembatan itu adalah
  1. Jembatan I Tengku Fisabillah, yang merupakan jembatan terbesar dan terpanjang yakni 642 meter yang menghubungkan pulau Batam dan Pulau Tonton
  2. Jembatan II Nara Singa menghubungkan Pulau Tonton dan Pulau Nipah
  3. Jembatan III Raja Ali Haji menghubungkan  Pulau Nipah dan Pulau Setokok
  4. Jembatan IV Sultan Zainal Abidin menghubungkan Pulau Setokok dan Pulau Rempang
  5. Jembatan V Tuanku Tambusai menghubungkan Pulau Rempang dan Pulau Galang
  6. Jembatan VI Raja Kecil menghubungkan Pulau galang dan Pulau Galang Baru  




Jembatan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi tetapi juga  wisata dan tempat kongkow-kongkow orang-orang Batam dikala  senja tiba. Terutama di jembatan 1.  Mirip seperti jembatan Siti Nurbaya di Padang.
Banyak orang  mengambil foto di pinggir jembatan yang disediakan untuk pejalan kaki ataupun di tengah jembatan. Iya, di tengah jembatan! Gak perlu panik. Jembatan ini terdiri atas dua jalur. Ditengahnya dipisahkan oleh  trotoar sempit yang sering digunakan sebagai tempat mengambil foto dengan latar belakang kontruksi jembatan. 

Ok, cukup sekian perjalan hari ini. Lanjut ke cerita perjalanan gue esok harinya ke pulau cinta di Batam. Emang ada? Ada lah…..

Kamis, 06 Maret 2014

HARUSKAH KUMPUL KEBO DIATUR NEGARA?




Salah satu perdebatan hangat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah kriminalisasi terhadap kumpul kebo (living together without married).  Perbuatan ini dirumuskan dalam Pasal 485 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak 30 juta.
Rumusan pasal ini mengundang pro kontra. Dari kalangan agamis menyatakan dukungannya karena kumpul kebo merupakan perbuatan zina yang dilarang agama. Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah selayaknya mengakomodir larangan terhadap perbuatan zina dan kumpul kebo. Aturan yang ada sebelumnya (pasal 284 KUHP) dirasa tidak cukup.  Pasal tersebut hanya menjerat pelaku perzinaan yang salah satunya terikat hubungan pernikahan. Bagi mereka yang masih lajang dan melakukan perbuatan itu atas dasar suka sama suka atau tinggal seatap layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan, tidak dapat dipidana. Maka tak heran bila pada tahun 2009, Badan  Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis data yang mengejutkan mengenai prilaku seks bebas di kalangan remaja telah mencapai angka 35,9 persen (Republika, 24 Maret)
Sebaliknya, kalangan yang menentang menyatakan rumusan pasal 485 itu tidak mencerminkan kebhinekaan. Hal ini didasarkan pada sejumlah daerah seperti Mentawai, Bali dan Minahasa yang mentolerir perbuatan tersebut. Ditakutkan bila pasal itu diberlakukan  akan menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat dan bukan tidak mungkin menimbulkan disintegrasi bangsa. Disamping itu, pendapat lain  mempertanyakan kewenangan negara yang terlalu ikut campur dalam privasi warganya. Negara seharusnya mengurus hal-hal yang lebih besar untuk mensejahterahkan rakyat bukan mencampuri ranah pribadi, apalagi mengkriminalisasi kebebasan seseorang.

Filosofi Kumpul Kebo
Awalnya, kumpul kebo lahir dari budaya Eropa. Ketika itu, derajat wanita dianggap lebih rendah dibandingkan pria. Wanita tidak mempunyai hak yang sama seperti pria dan selalu dipersalahkan bila tidak dapat memberikan keturunan. Padahal pernikahan tanpa keturunan sebagai penerus dianggap aib. Menyikapi permasalahan ini, kemudian muncul fenomena hidup bersama antara pria dan wanita sebelum diresmikan dalam pernikahan dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk mengetahui apakah wanita yang akan dinikahi dapat memberikan keturunan atau tidak. Bila dari hasil “ujicoba” pasangannya hamil, maka pernikahan antara keduanya akan dilaksanakan. Namun, bila pasangannya tidak hamil, dia dicampakan begitu saja layaknya barang bekas.
Pada perkembangan selanjutnya, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan menjadi gaya hidup di negara-negara barat. Hasil laporan riset Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa satu dari enam warga Inggris hidup kumpul kebo dengan pasangannya. Data yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS) . Sebanyak 27 persen anak lahir dari orang tua yang belum menikah antara tahun 2003 sampai 2010.
Meningkatnya kumpul kebo di negara Barat dilatarbelakangi sejumlah faktor. Pertama, ketidakpercayaan pada institusi pernikahan. Pernikahan di Barat dipandang sebagai hubungan perdata antara pria dan wanita. Layaknya kontrak, ikatan pernikahan bisa dibatalkan setiap saat. Akibatnya, negara seperti AS, Rusia, dan Ukraina memiliki angka perceraian tertinggi di dunia. Hal ini berbeda dengan Indonesia, dimana pernikahan merupakan ikatan lahir bathin yang bersifat sakral dengan mengindahkan nilai-nilai agama (Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan).  
Kedua, keinginan untuk hidup bebas tanpa terikat tanggung jawab sebagai suami atau istri. Kalangan muda cendrung tidak ingin dibebani oleh urusan rumah tangga dan anak. Kumpul kebo menjadi jalan keluar untuk permasalahan itu, dimana masing-masing pihak memiliki ruang gerak yang bebas tanpa dicampuri satu sama lain. Ketiga, mahalnya biaya pernikahan dan perceraian. Di negara-negara Barat, pasangan muda-mudi harus berpikir dua kali untuk menikah disebabkan tingginya biaya pernikahan yang harus dikeluarkan. Misalnya, di AS rata-rata biaya pernikahan sebesar $20.000 (Rp.20 juta). Disamping itu, bila mereka bercerai uang yang harus dikeluarkan tidak kalah fantastik. Di Inggris, biaya perceraian bisa menembus angka 13.000 poundsterling (Rp. 190 juta).

Kewenangan Negara
Melihat fenomena kumpul kebo yang jelas berakar dari budaya Barat dan tidak mencerminkan   budaya timur yang menghormati institusi pernikahan, maka pemerintah merasa perlu merumuskan pasal tentang kumpul kebo dalam KUHP. Sebagaimana diketahui bahwa semangat pembaruan KUHP tidak hanya dekolonilisasi peraturan Hindia Belanda, tetapi juga  adaptasi dan hormonisasi dengan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat Indonesia menjunjung tinggi moral dan memandang sumbang hidup bersama tanpa pernikahan.
Permasalahannya kemudian, adanya ketakutan yang berlebihan timbulnya perpecahan penyeragaman  aturan tersebut. Memang, tidak mungkin membuat aturan yang universal di tengah keberagaman suku di Indonesia tapi bukan tidak mungkin dirumuskan aturan bagi mayoritas dan dalam penerapannya mengecualikan untuk minoritas. Prakteknya banyak terlihat dalam penegakan hukum. Ambil contoh mengenai perkara gadai tanah yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 yang menyatakan tanah yang digadaikan pada pemegang gadai harus dikembalikan pada pemilik gadai setelah tujuh tahun tanpa membayar uang tebusan. Aturan ini tidak pernah diterapkan di Sumatera Barat. Kebiasaan menurut hukum adat Minangkabau, tanah gadai dikembalikan setelah ditebus oleh pemilik gadai.
Namun pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, tidak pernah menggunakan  pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 dalam mengadili perkara tanah gadai di Sumatera Barat. Sebaliknya, hakim menggunakan hukum adat Minangkabau sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 ayat 1  Undang-Undang no 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim wajib menggali sumber-sumber tidak tertulis dalam masyarakat. Kasus yang sama tentu bisa diterapkan dalam memproses dan mengadili tindakan kumpul kebo di daerah yang menjadikan perbuatan itu sebagai adat istiadat.
Malah, ketiadaan aturan tentang kumpul kebo dapat menimbulkan gejolak sosial dan anarkisme di tengah masyarakat. Betapa banyak kita dengar, pelaku zina dan kumpul kebo diarak keliling kampung, dianiaya oleh warga sekitar atau dikenakan denda yang tinggi akibat perbuatan tidak senonok yang mereka lakukan. Lalu, siapa yang bertanggungjawab dari hukuman masyarakat itu? Bisa jadi kesalahan negara karena negara tidak mampu melakukan pengendalian sosial terhadap perbuatan yang tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat.  Oleh karena itu, tidak salah Donald Black mengatakan bila pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak berjalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dan kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (Zainuddin Ali: 2008).
Tentunya, negara melarang suatu perbuatan mempunyai tujuan baik demi melindungi warganya. Negara mencoba meminimalisir resiko yang timbul di kemudian hari. Begitu pula dengan kumpul kebo, negara ingin memberikan kepastian hukum terhadap pria dan wanita yang ingin hidup bersama dengan ikatan pernikahan. Kumpul kebo, khusus bagi wanita dan anak yang dilahirkan dari hubungan itu, tidak dapat memperoleh jaminan hukum. Pasangan pria bisa saja meninggalkan wanita dan anak biologisnya tanpa pertanggungjawaban karena tidak ada bukti tertulis bahwa mereka pernah berumah tangga. Jangankan untuk kasus kumpul kebo, untuk kasus pernikahan tidak bercatat yang jelas-jelas sah menurut hukum  sering menimbulkan polemik dan  berujung ke meja hijau. Apalagi kumpul kebo yang tidak jelas  status hubungannya.
Disamping itu, kriminalisasi kumpul kebo bukanlah perkara baru. Jauh sebelum rancangan KUHP itu dibuat, kumpul kebo telah dilarang.  Contoh, dalam Pasal 5 ayat 3 Sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951  dinyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat (termasuk kumpul kebo) tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat dipidana  tiga bulan penjara. Selanjutnya dalam PP nomor 10 Tahun 1983 juga  ditegaskan pegawai negeri sipil diancam  sanksi administrasi berat bila hidup bersama tanpa pernikahan.
Akhirnya sebagai renungan bagi kita yang sering berkaca pada kehidupan Barat, tidak semua daerah Barat melegalkan kumpul kebo. Di beberapa negara bagian AS seperti Florida, North Dakota dan lima negara bagian lainnya, kumpul kebo merupakan kejahatan yang disamakan dengan pemerkosaan. Di Florida, pelaku kumpul kebo dikenakan denda $500 atau penjara 60 hari dan di North Dakota, pelakuknya dikenakan denda $1000 atau penjara 30 hari. Jadi, bila negara yang menjunjung tinggi kebebasan seperti  AS melarang kumpul kebo, kenapa negara berbudaya seperti Indonesia melegalkannya?