Pengikut

Kamis, 06 Maret 2014

HARUSKAH KUMPUL KEBO DIATUR NEGARA?




Salah satu perdebatan hangat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah kriminalisasi terhadap kumpul kebo (living together without married).  Perbuatan ini dirumuskan dalam Pasal 485 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak 30 juta.
Rumusan pasal ini mengundang pro kontra. Dari kalangan agamis menyatakan dukungannya karena kumpul kebo merupakan perbuatan zina yang dilarang agama. Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah selayaknya mengakomodir larangan terhadap perbuatan zina dan kumpul kebo. Aturan yang ada sebelumnya (pasal 284 KUHP) dirasa tidak cukup.  Pasal tersebut hanya menjerat pelaku perzinaan yang salah satunya terikat hubungan pernikahan. Bagi mereka yang masih lajang dan melakukan perbuatan itu atas dasar suka sama suka atau tinggal seatap layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan, tidak dapat dipidana. Maka tak heran bila pada tahun 2009, Badan  Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis data yang mengejutkan mengenai prilaku seks bebas di kalangan remaja telah mencapai angka 35,9 persen (Republika, 24 Maret)
Sebaliknya, kalangan yang menentang menyatakan rumusan pasal 485 itu tidak mencerminkan kebhinekaan. Hal ini didasarkan pada sejumlah daerah seperti Mentawai, Bali dan Minahasa yang mentolerir perbuatan tersebut. Ditakutkan bila pasal itu diberlakukan  akan menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat dan bukan tidak mungkin menimbulkan disintegrasi bangsa. Disamping itu, pendapat lain  mempertanyakan kewenangan negara yang terlalu ikut campur dalam privasi warganya. Negara seharusnya mengurus hal-hal yang lebih besar untuk mensejahterahkan rakyat bukan mencampuri ranah pribadi, apalagi mengkriminalisasi kebebasan seseorang.

Filosofi Kumpul Kebo
Awalnya, kumpul kebo lahir dari budaya Eropa. Ketika itu, derajat wanita dianggap lebih rendah dibandingkan pria. Wanita tidak mempunyai hak yang sama seperti pria dan selalu dipersalahkan bila tidak dapat memberikan keturunan. Padahal pernikahan tanpa keturunan sebagai penerus dianggap aib. Menyikapi permasalahan ini, kemudian muncul fenomena hidup bersama antara pria dan wanita sebelum diresmikan dalam pernikahan dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk mengetahui apakah wanita yang akan dinikahi dapat memberikan keturunan atau tidak. Bila dari hasil “ujicoba” pasangannya hamil, maka pernikahan antara keduanya akan dilaksanakan. Namun, bila pasangannya tidak hamil, dia dicampakan begitu saja layaknya barang bekas.
Pada perkembangan selanjutnya, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan menjadi gaya hidup di negara-negara barat. Hasil laporan riset Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa satu dari enam warga Inggris hidup kumpul kebo dengan pasangannya. Data yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS) . Sebanyak 27 persen anak lahir dari orang tua yang belum menikah antara tahun 2003 sampai 2010.
Meningkatnya kumpul kebo di negara Barat dilatarbelakangi sejumlah faktor. Pertama, ketidakpercayaan pada institusi pernikahan. Pernikahan di Barat dipandang sebagai hubungan perdata antara pria dan wanita. Layaknya kontrak, ikatan pernikahan bisa dibatalkan setiap saat. Akibatnya, negara seperti AS, Rusia, dan Ukraina memiliki angka perceraian tertinggi di dunia. Hal ini berbeda dengan Indonesia, dimana pernikahan merupakan ikatan lahir bathin yang bersifat sakral dengan mengindahkan nilai-nilai agama (Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan).  
Kedua, keinginan untuk hidup bebas tanpa terikat tanggung jawab sebagai suami atau istri. Kalangan muda cendrung tidak ingin dibebani oleh urusan rumah tangga dan anak. Kumpul kebo menjadi jalan keluar untuk permasalahan itu, dimana masing-masing pihak memiliki ruang gerak yang bebas tanpa dicampuri satu sama lain. Ketiga, mahalnya biaya pernikahan dan perceraian. Di negara-negara Barat, pasangan muda-mudi harus berpikir dua kali untuk menikah disebabkan tingginya biaya pernikahan yang harus dikeluarkan. Misalnya, di AS rata-rata biaya pernikahan sebesar $20.000 (Rp.20 juta). Disamping itu, bila mereka bercerai uang yang harus dikeluarkan tidak kalah fantastik. Di Inggris, biaya perceraian bisa menembus angka 13.000 poundsterling (Rp. 190 juta).

Kewenangan Negara
Melihat fenomena kumpul kebo yang jelas berakar dari budaya Barat dan tidak mencerminkan   budaya timur yang menghormati institusi pernikahan, maka pemerintah merasa perlu merumuskan pasal tentang kumpul kebo dalam KUHP. Sebagaimana diketahui bahwa semangat pembaruan KUHP tidak hanya dekolonilisasi peraturan Hindia Belanda, tetapi juga  adaptasi dan hormonisasi dengan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat Indonesia menjunjung tinggi moral dan memandang sumbang hidup bersama tanpa pernikahan.
Permasalahannya kemudian, adanya ketakutan yang berlebihan timbulnya perpecahan penyeragaman  aturan tersebut. Memang, tidak mungkin membuat aturan yang universal di tengah keberagaman suku di Indonesia tapi bukan tidak mungkin dirumuskan aturan bagi mayoritas dan dalam penerapannya mengecualikan untuk minoritas. Prakteknya banyak terlihat dalam penegakan hukum. Ambil contoh mengenai perkara gadai tanah yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 yang menyatakan tanah yang digadaikan pada pemegang gadai harus dikembalikan pada pemilik gadai setelah tujuh tahun tanpa membayar uang tebusan. Aturan ini tidak pernah diterapkan di Sumatera Barat. Kebiasaan menurut hukum adat Minangkabau, tanah gadai dikembalikan setelah ditebus oleh pemilik gadai.
Namun pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, tidak pernah menggunakan  pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 dalam mengadili perkara tanah gadai di Sumatera Barat. Sebaliknya, hakim menggunakan hukum adat Minangkabau sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 ayat 1  Undang-Undang no 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim wajib menggali sumber-sumber tidak tertulis dalam masyarakat. Kasus yang sama tentu bisa diterapkan dalam memproses dan mengadili tindakan kumpul kebo di daerah yang menjadikan perbuatan itu sebagai adat istiadat.
Malah, ketiadaan aturan tentang kumpul kebo dapat menimbulkan gejolak sosial dan anarkisme di tengah masyarakat. Betapa banyak kita dengar, pelaku zina dan kumpul kebo diarak keliling kampung, dianiaya oleh warga sekitar atau dikenakan denda yang tinggi akibat perbuatan tidak senonok yang mereka lakukan. Lalu, siapa yang bertanggungjawab dari hukuman masyarakat itu? Bisa jadi kesalahan negara karena negara tidak mampu melakukan pengendalian sosial terhadap perbuatan yang tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat.  Oleh karena itu, tidak salah Donald Black mengatakan bila pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak berjalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dan kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (Zainuddin Ali: 2008).
Tentunya, negara melarang suatu perbuatan mempunyai tujuan baik demi melindungi warganya. Negara mencoba meminimalisir resiko yang timbul di kemudian hari. Begitu pula dengan kumpul kebo, negara ingin memberikan kepastian hukum terhadap pria dan wanita yang ingin hidup bersama dengan ikatan pernikahan. Kumpul kebo, khusus bagi wanita dan anak yang dilahirkan dari hubungan itu, tidak dapat memperoleh jaminan hukum. Pasangan pria bisa saja meninggalkan wanita dan anak biologisnya tanpa pertanggungjawaban karena tidak ada bukti tertulis bahwa mereka pernah berumah tangga. Jangankan untuk kasus kumpul kebo, untuk kasus pernikahan tidak bercatat yang jelas-jelas sah menurut hukum  sering menimbulkan polemik dan  berujung ke meja hijau. Apalagi kumpul kebo yang tidak jelas  status hubungannya.
Disamping itu, kriminalisasi kumpul kebo bukanlah perkara baru. Jauh sebelum rancangan KUHP itu dibuat, kumpul kebo telah dilarang.  Contoh, dalam Pasal 5 ayat 3 Sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951  dinyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat (termasuk kumpul kebo) tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat dipidana  tiga bulan penjara. Selanjutnya dalam PP nomor 10 Tahun 1983 juga  ditegaskan pegawai negeri sipil diancam  sanksi administrasi berat bila hidup bersama tanpa pernikahan.
Akhirnya sebagai renungan bagi kita yang sering berkaca pada kehidupan Barat, tidak semua daerah Barat melegalkan kumpul kebo. Di beberapa negara bagian AS seperti Florida, North Dakota dan lima negara bagian lainnya, kumpul kebo merupakan kejahatan yang disamakan dengan pemerkosaan. Di Florida, pelaku kumpul kebo dikenakan denda $500 atau penjara 60 hari dan di North Dakota, pelakuknya dikenakan denda $1000 atau penjara 30 hari. Jadi, bila negara yang menjunjung tinggi kebebasan seperti  AS melarang kumpul kebo, kenapa negara berbudaya seperti Indonesia melegalkannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar