Pengikut

Minggu, 19 Oktober 2014

BERHENTILAH BERANDAI!



Seandainya aku seorang prince, lord atau duke, alangkah senang hidup ini kurasakan. Hidup sebagai seorang bangsawan yang dihormati. Apa yang dinginkan terpenuhi dan mempunyai kekayaan yang tak akan pernah habis tujuh turunan. Semuanya akan terasa lengkap dengan kastil megah serta puluhan pengawal yang selalu setia menjaga keamanan tuannya.
 
Sayangnya, hal itu hanya ada dalam mimpi. Kehidupanku bertolak belakang dari ilustasi tersebut. Aku hanyalah rakyat jelata, tepatnya seorang mahasiswa yang tinggal di kamar kost sempit dengan uang saku pas-pasan. Jangankan gelar prince, lord atau duke, gelar sarjana pun masih enggan bergandengan dengan namaku.
Belakang ini, aku sering larut dalam perasaanku sendiri. Aku senang berangan-angan dan menyendiri di kamar kost. Kubangun “kerajaan” sendiri di dunia semu. Tentunya, aku yang menjadi rajanya. Apa yang kuinginkan kudapatkan di sini, termasuk masa depan yang cerah. Di benakku terlihat sebuah kehidupan yang mapan. Aku punya pekerjaan  bagus, rumah yang megah, mobil yang mengkilat dan keluarga kecil yang bahagia



Namun, khayalan itu tidak berlangsung lama. Slide di otakku berganti. Sekarang terlihat seorang mahasiswa yang terburu-buru mandi pagi karena hampir terlambat kuliah. Setelah itu, dia harus berebut bus kota dengan puluhan orang yang juga akan berangkat ke tempat aktifitas mereka masing-masing. Gerah dan sumpek, itu yang dirasakan mahasiswa tadi.
Slide di otakku masih berputar. Sekarang gambarnya memperlihatkan mahasiswa yang sama yang sedang melihat isi dompetnya. Hanya ada dua lembar uang dua puluh ribuan.

“Ah, tinggal segini, padahal tanggal satu masih lama”, gerutunya.
Adegan berikutnya, si mahasiswa malang itu tengah bertransaksi dengan temannya. Bukan transaksi jual beli tetapi transaksi peminjaman uang untuk menutup defisit pengeluarannya. Adegan itu berlangsung berulang dengan beberapa orang berbeda. Akhir dari setiap adegan selalu sama yakni satu kata penolakan, “maaf”, seolah dia adalah seorang pengemis. Barulah ketika “dana segar” didapatkannya, adegan itu berakhir dengan wajah senang si mahasiswa seperti wajah seorang buruh kasar yang baru saja menerima gaji.
Ah, kepalaku sakit. Bayangan kehidupan nyata selalu merusak mimpi-mimpi indahku. Penderitaan keseharianku bagaikan meriam yang meruntuhkan tembok mimpi yang kubangun. Dia melemahkan potensi yang membuatku tidak bergairah dan stres.
Angan-angan dan potret kesusahan hidup yang kualami saling tarik menarik. Keduanya datang silih berganti seperti pentas teater di otakku. Ketika aku stres karena suatu masalah, maka aku akan mengurung diri di kamar dan menghindari interaksi dengan dunia luar kecuali pergi kuliah. Aku membayangkan keseharian yang lebih menyenangkan. Berandai-andai hidup tenang, tanpa masalah dan berkecukupan. Namun, ketenangan itu terusik akan bayangan masalah yang belum kutemukan solusinya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Aku rasa orang lain tidak mengalami hal yang kualami, lari dari masalah dan bersembunyi di dunia semu. Apakah aku sudah gila atau aku sedang mengalami krisis kepribadian yang parah?
Aku termenung di sudut kamarku. Otakku berpikir keras.
“Aku tidak gila!”.
Ruangan ini membisu. Dia tidak memberiku jawaban. Tiba-tiba terdengar suara. “Kau tidak gila, tapi kau mengalami sedikit gangguan kejiwaan”.

Aku meneriakan lagi kata tidak. Suara itu kembali terdengar. “Coba kau pikirkan ketika orang lain mendapatkan masalah mereka berusaha tegar menghadapinya.  Mereka tidak mengurung diri sepanjang hari di kamar dan mereka tidak lari ke dunia semu. Mereka berusaha menantang dunia nyata”.
Aku belum bisa menerima kata hatiku itu. Lama aku menekur, sampai hati kecilku kembali berbicara. “Kalau kau hanya menanam andai, maka kau hanya akan menuai mimpi. Tetapi bila kau menanam tekad, memupuk usaha maka kau akan menuai hasil dari cita-cita”.
Ya, mungkin ada benarnya. Selama ini aku lemah pada diriku sendiri. Aku tidak dapat menaklukan masalah karena aku tidak mencari solusinya. Aku hanya berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Untuk beberapa persoalan cara itu memang terbukti. Namun, untuk beberapa masalah lain hanya mengendapkan masalah sementara waktu, kemudian masalah itu berevolusi dalam bentuk baru  yang lebih rumit.
Aku harus berubah. Aku sudah dewasa dan harus mampu menghadapi masa depan yang penuh rintangan. Tidak akan ada keajaiban seperti dalam cerita dongeng, di mana akan datang peri baik hati yang membantu dengan kekuatan sihirnya. Keajaiban itu adalah diriku sendiri. Kekuatan akal dan hati yang diberikan Tuhan akan menjadi senjata untuk mengubah kehidupanku menjadi lebih baik.
Ruangan ini kembali senyapun sesaat. Dan beberapa waktu kemudian sebuah suara bergema. “Buka gorden jendelamu bujang! Lihatlah matahari telah tinggi. Langkahkan kakimu keluar dan tantanglah dunia! Karena setiap tapak yang kau langkahkan adalah masa depanmu!”

  NB: Tulisan ini pernah dimuat di harian sindo tahun 2007 ato 2008. lupa saking lamanya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar