Pengikut

Sabtu, 05 September 2015

Menengok Kotanya Jokowi: Mengunjungi dua Keraton (Part 2)

Kalau di Yogyakarta ada pasar Beringharjo sebagai tempat membeli batik murah, di Solo ada pasar Klewer. Gue sempat mampir ke Pasar Klewer (sebelum pasar Klewer terbakar) buat membeli beberapa batik. Harganya memang lebih murah tapi kita harus pintar-pintar nawar juga. Dan yang terpenting harus sesuai budget juga. Banyak barang-barang bagus, selain pakaian berbahan dasar batik, di sana juga dijual taplak meja, bed cover, dompet, sandal dan lain-lain. Bila tak ingin kantong bolong, jangan berlama-lama disana.Hehe..
Syukurnya, waktu gue terbatas di pasar Klewer. Gue curi-curi waktu untuk bisa memuaskan hasrat berbelanja di pasar yang sudah berkembang sejak zaman Jepang itu. Sehabis ini gue punya acara lain meng-eksplore keraton yang ada di Solo. Solo punya dua keraton yakni Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaraan. Satunya ditempati Paku Buwono dengan status raja dan satunya ditempati Mangkunegara  dengan status pangeran.
Lambang keraton Surakarta

Kedua keraton ini mempunyai kisah yang panjang yang diawali dari perjanjian Gianti tahun 1755. Perjanjian merupakan politik devide et impera Belanda yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua yakni sebelah barat Kali Opak untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian bernama Yogyakarta dan sebelah timur Kali Opak untuk Sunan Pakubuwono III yang kemudian bernama Kasunanan atau Surakarta Hadiningrat. Namun, pada tahun 1757, daerah Surakarta dipecah lagi menjadi dua melalui perjanjian Salatiga. Pecahan Surakarta itu dikenal dengan kadipaten Mangkunegaran.

Lambang Keraton Mangkunegaran 

Layaknya istana para raja, keraton merupakan bangunan yang indah pada masanya. Sayangnya bila kita berkunjung ke keraton Kasunanan sekarang, keadaannya kurang terawat. Cat dindingnya sudah kusam. Banyak benda-benda keraton seperti kereta keraton dibiarkan lapuk, Padahal memiliki nilai sejarah yang tinggi. Konon kabarnya, dulu gagang pintu keraton terbuat dari emas tapi karena keadaan keuangan yang sulit, emas-emas itu dijual dan tinggallah sisa kejayaan masa lalu seperti yang terlihat sekarang ini.

Namun, satu bangunan yang terawat yang kalau dilihat merupakan aula utama tempat raja bertemu dengan bawahan. Bangunan itu sepertinya baru direnovasi dan pengunjung dilarang masuk kesana. Dari informasi yang gue ketahui, bangunan utama keraton ini pernah terbakar tahun 1985. Pengumpulan dana besar-besaran digalang. Presiden Soeharto ketika itu sampai menyumbangkan setengah  tahun gajinya. Pembangunan kembali beberapa kompleks keraton yang terbakar berlangsung cukup lama dan baru selesai tahun 1997



Patung Pakubuwono X, dikenal dengan Raja Keraton Surakarta terkaya

Dipintu masuk keraton, dijaga oleh dua orang abdi dalem sebagai  pengawal perpakaian tentara Jawa lengkap dengan pedangnya. Pengunjung diperbolehkan berfoto dengan mereka. Tapi jangan lupa menyelipkan uang seikhlasnya. Maklum abdi dalem biasanya tidak digaji. Kalaupun ada, gaji mereka sangat kecil. Jadi mereka juga mengharapkan tambahan penghasilan dari para pengunjung

Cermin antik di depan pintu masuk keraton Surakarta

Pengawal di pintu masuk keraton 

Hal yang menarik ketika kita memasuki keraton, ditengahnya terdapat taman yang ditanami pohon dan terdapat patung-patung bergaya Eropa. Taman itu berpasir dan pasirnya didatangkan dari pantai selatan. Pengunjung dianjurkan untuk tidak memakai sandal dan sepatu karena dipercayai bahwa pasir tersebut dapat menyembuhkan penyakit bagi yang yang menginjaknya tanpa alas kaki. Gue sih gak begitu percaya. Makanya gue gak copot sepatu.
Patung bergaya Eropa di taman keraton




Di bagian paling depan dari  keraton Kasuhunanan terdapat menara lima tingkat. Posisinya di depan taman berpasir tadi. Konon katanya di puncak tertinggi menara terdapat ruangan khusus tempat raja bersemedi dan bertemu dengan penguasa pantai selatan, Nyi Roro Kidul. Ikatan kuat antara keraton Surakarta dan Yogyakarta terhadap Nyi Roro Kidul disebabkan karena pendahulu mereka, Panempahan Senopati, raja Mataram yang pertama, bertemu dengan penguasa pantai selatan tersebut. Panembahan Senopati tinggal tiga hari tiga malam di dasar laut selatan untuk belajar segala pengetahuan untuk menjadi seorang raja yang kemudian diwariskan pada keturunannya. Sampai sekarang sebagian masyarakat Jawa masih percaya bahwa raja-raja dari Surakarta dan Yogyakarta mempunyai ikatan mistis dengan Nyi Rorol Kidul sehingga beberapa prosesi keraton masih mempertahankan ritual dan tarian yang ada kaitannnya dengan penguasa pantai selatan itu.
Menara Keraton Surakarta

Beralih ke Keraton Mangkunegaran. Keadaan berbeda terlihat pada Keraton Mangkunegaran yang jauh lebih terawat tapi kompleksnya tidak terlalu luas dibandingkan kompleks keraton Kasuhunanan. Dalam perjanjian Salatiga tahun 1757, Pangeran Mangkunegara diperbolehkan mendirikan istana sendiri namun tanpa alun-alun dan pohon beringin serta tanpa tembok kota.
 Keraton Mangkunegaran

Tembok dan gerbang depan Keraton Mangkunegaran

Gaya bangunannya perpaduan Jawa dan Eropa.Terbukti di relief plafon depan aula depan terlihat ukiran bergaya Renessaince. Terdapat empat patung singa berwarna emas di tangga aula. Di dalam aula tergantung lampu bergaya borok. Sejatinya lampu itu diperuntukan di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Istana Bogor sekarang) tapi karena lampu-lampu gas baru saja diperkenalkan maka Mangkunegara IV boleh mengambil alih penggunaannya. Ini karena Mangkunegara IV dikenal dekat dengan pemerintah Hindia Belanda.


Aula depan biasanya digunakan untuk upacara-upacara adat ataupun latihan sendra tari tradisional. Aula ini di topang oleh beberapa tiang. Ada kepercayaan disana, siapa saja yang bisa memeluk satu tiang dengan kedua tangannya tanpa terputus maka keinginannya akan terkabul.
Aula depan istana mangkunegaran  

Di belakang aula depan terdapat aula utama, tempat dimana raja bertahta dan disimpannya benda-benda pusaka keraton. Ketika memasuki aula utama, kita disambut empat patung emas  orang Tionghoa. Mungkin ini memperlihatkan ikatan yang erat antara Keraton dengan pedagang-pedagang Tionghoa tempo dulu.

Aula utama keraton mangkunegaran

Di aula utama pengunjung diperbolehkan masuk tapi tidak boleh mengambil foto. Alasannya demi keamanan, karena ada  benda-benda pusaka keraton yang tidak boleh didokumentasikan seperti motif-motif pada kain batik yang hanya khusus dipakai oleh raja dan keluarganya.  Lalu ada serambi belakang. Disana pengunjung dapat melihat meja makan, kursi tamu antik dan taman belakang keraton yang cukup terawat.

Bagian belakang keraton mangkunegaran