Pengikut

Rabu, 17 Januari 2018

MENYUSURI TEMPO MASA LALU DI SAWAHLUNTO

“Ijzerman! Tak ada yang tak mengenal keluarga itu di Belanda. Sekarang keluarga Ijzerman punya bisnis waralaba rumah makan. Salah satunya rumah makan Indonesia”, ujar Willem antusias ketika kami melihat foto lama bertahun 1892 di Gedung Infobox yang memajang foto-foto Sawahlunto di zaman baheula. Di foto itu terlihat J.W Ijzerman, pria yang menjadi kakek atau buyut dari orang diceritakan Willem, tengah berfoto dengan latar pekerja tambang di Sawahlunto kala itu.
“Mr. Ijzerman, pernah menjadi kepala pertambangan di Sawahlunto dari tahun 1892-1896. Dia memimpin proyek tiga serangkai yakni membangun tambang batu bara, jalur kereta api yang tadi kita lihat di museum kereta api yang menghubungkan sawahlunto dan Padang dan pembangunan pelabuhan Teluk Bayur di Padang,” cerita saya sambil menterjemahkan artikel google yang saya temukan tentang Mr. Ijzerman.
Pria separuh baya di depan saya mengangguk. Saya sedang menjadi tour guide dadakan untuknya. Willem, turis asal Belanda yang saya kenal melalui media sosial sejak beberapa tahun lalu, sengaja saya paksa memasukan Sumatera Barat dalam destinasi liburannya di Indonesia dan konsekuensinya saya menjadi pemandu wisatanya. Sama seperti hari ini, saya membawanya ke Sawahlunto.

The buildings in this little town looked so familiar. Just like being home in The Netherlands!” komentar Willem yang tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika kami memasuki kota Sawahlunto dan melihat bangunan tua bercorak Eropa.

Sejatinya Sawahlunto yang berjarak 95 km dari Padang, ibukota Sumatera Barat, pernah menjadi primadona di masa lalu. Batu bara yang terkandung di perut buminya mengundang orang-orang Belanda ke datang ke sana. Adalah W.H. Van de Greeve, seorang insinyur Belanda, yang menemukan cadangan batu bara berjenis antrasit dengan kadar karbon 86-98 % dan kadar air kurang dari 8% di lembah perbukitan Sawahlunto. Penemuan batu bara ini membuat geger pemerintah Hindia Belanda yang memang sedang mencari pemasukan dana karena minimnya kas negara akibat peperangan di negeri jajahan. Akhirnya mereka menginvestasinya dana besar untuk mengeksploitasi batu bara dan membangun sejumlah infrastruktur pendukung.
Pembangunan tersebut mengubah Sawahlunto dari belantara menjadi kota bercorak Eropa. Maka tak heran Sawahlunto kemudian dijuluki sebagai Little Holand. Sekarang setelah kejayaan emas hitam itu memudar dengan habisnya batu bara disana, Sawahlunto menjelma menjadi kota wisata tambang. Bangunan-bangunan lama yang ditinggalkan setelah tidak beroperasinya pertambangan, disulap menjadi museum, hotel, bahkan menjadi masjid seperti Mesjid Nurul Islam yang dulunya adalah bangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Uniknya menara cerobong PLTU dijadikan menara masjid sehingga masjid Nurul Islam menjadi masjid dengan menara tertinggi di Indonesia yakni 10 meter.
Setelah berkeliling melihat foto-foto lawas di Gedung Infobox, saya mengajak Willem ke Lubang Mbah Soero yang terletak disamping gedung tersebut. Lubang Mbah Soero adalah lubang tambang yang dibangun tahun 1898. Disebut Lubang Mbah Soero karena mandor pekerja tambang kala itu bernama Mbah Soero. Lubang itu ditutup tahun 1932 karena tingginya rembesan air dan dibuka kembali tahun 2007 untuk kepentingan wisata. Beruntung saya dan Willem bisa memasuki lubang tambang itu. Kami dibekali topi proyek dan sepatu bot sebelum memasuki lubang tambang itu. Dan lagi-lagi Willem dibuat takjub melihat batu bara hitam mengkristal di dinding lubang tambang.

“Kebanyakan orang Belanda tidak tahu tentang Sawahlunto. Tapi di sekolah, kami diajarkan mengenai pertambangan batu bara di Sumatera dan betapa pentingnya batu bara tersebut untuk pembangunan industri di Belanda dan Hindia Belanda”.
“Namun, ada hal lain yang perlu anda tahu tentang Sawahlunto”.
Dia menunjukan ketertarikannya seakan tidak sabar mendengar cerita dari saya.
“Sebuah cerita kelam tentang kejayaan Sawahlunto di masa lalu. Manusia rantai”
Willem terlihat tidak mengerti tentang apa yang saya maksud. “Manusia rantai adalah para pekerja tambang. Mereka merupakan tahanan yang didatangkan dari sejumlah penjara di Sumatera dan Jawa serta diberlakukan tidak manusiawi. Bekerja tanpa diupah dan kaki mereka dirantai dengan bola pemberat dari besi supaya tidak melarikan diri. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai manusia rantai”.

Saya menunjukan tumpukan batu berbentuk batang yang disusun bersilang di depan Museum Gudang Ransum yang baru kami masuki. “Batu itu adalah nisan para manusia rantai. Coba anda lihat di batu itu, tidak ada nama hanya ada nomor sebagai identitas yang juga ditatto di tubuh para manusia rantai. Ketika mereka meninggal, nisan mereka ditandai dengan nomor tersebut”.
Wajah Willem berubah. Dia terlihat menelan ludah.
“Maaf saya tidak bermaksud menceritakan kekejaman penjajahan Belanda di masa lalu tapi ini adalah sebuah fakta yang harus saya ceritakan.”
“Saya mengerti. Masa lalu Belanda di Indonesia bukanlah cerita indah tapi saya berharap kita belajar dari sejarah dan membuka pintu untuk hubungan yang solid di masa mendatang.”

Saya sependapat dengannya. Sawahlunto memang menyisakan cerita sedih dibalik kejayaan emas hitam. Ada jeritan pilu manusia rantai ditengah gemerlapnya kota yang diisi hiburan di Rumah Komidi yang sekarang menjadi kantor  Pegadaian atau tawa riuh para pejabat tambang Belanda yang sedang bermain bilyar dan bowling di Rumah Bola yang sekarang beralihfungsi menjadi Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Namun, apapun kisah masa lalu itu, Sawahlunto tetapi menarik untuk ditelusuri, baik dari sudut pandang saya seorang Indonesia ataupun dari sudut pandang Willem seorang Belanda.


Sabtu, 06 Januari 2018

Bukittinggi: Dari Kota Perjuangan ke Kota Wisata

Bukik Kubangan Kabau begitu orang-orang mengenalnya dulu. Sebuah nama yang tidak komersial mengingat pentingnya peran kota ini dalam episode sejarah dan peran strategisnya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat. Memang pada sejarah awalnya, daerah perbukitan yang merupakan bagian dari nagari (penyebutan untuk desa di Sumatera Barat-pen) Kurai Limo Jorong ini, hanya dijadikan tempat mengembalakan kerbau. Selanjutnya daerah ini berkembang dengan berdirinya pasar. Para pemuka adat kemudian mengganti nama daerah tersebut menjadi Bukik Nan Tatinggi. Faktor topografi menjadi dasar pertimbangan karena daerah ini berada di bukit tertinggi diantara 26 bukit di sekelilingnya. Lama kelamaan orang-orang lebih mengenalnya dengan Bukittinggi.
Nama Bukittinggi berganti ketika Belanda mengambil alih daerah tersebut setelah Perang Paderi berakhir. Sebelumnya, tahun 1826 Belanda mendirikan benteng pertahanan di utara pasar Bukittinggi untuk menghadapi gempuran pasukan Paderi. Benteng itu diberi nama Fort De Kock yang diambil dari nama Baron Hendrik Markus De Kock yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Hindia Belanda. Dari nama benteng itu, Bukittinggi dikenal oleh pemerintah kolonial sebagai Fort De Kock. Nama tersebut melekat sampai Belanda hengkang dan pemerintahan berganti ke tangan Jepang pada tahun 1942.
Di zaman penjajahan Jepang, Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan militer Jepang yang meliputi Sumatera, Singapura dan Thailand. Negara matahari terbit tersebut membangun barak militer rahasia di bawah kota Bukittinggi. Lebih tepatnya disebut terowongan dengan panjang 6 km dan kedalaman 49 meter di bawah tanah. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Lobang Jepang. Namun, keberadaan terowongan rahasia itu baru diketahui sekitar tahun 1950-an. Hal ini karena Jepang begitu menjaga kerahasiaan barak militer itu dengan mendatangkan para pekerja pembuatnya dari Jawa dan Kalimantan.
Episode sejarah berlanjut setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, jatuh ke tangan Belanda dalam agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sebelum ditawan sempat mengirim kawat/telegram pada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Penerangan, yang sedang berada di Bukittinggi.
Kawat tersebut berisi mandat untuk membentuk pemerintahan darurat. Mulai saat itu, Bukittinggi memainkan perannya sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), walaupun pemerintahannya dijalankan dengan gerilya keluar masuk hutan. Dari corong radio, Syafruddin Prawiranegara berpidato pada seluruh rakyat Indonesia untuk menggelorakan perjuangan dan menyuarakan pada dunia bahwa negara Indonesia masih ada, meskipun dalam bentuk pemerintahan darurat di kota kecil yang dulu menjadi basis pertahanan Belanda dan Jepang, Bukittinggi.


Kota wisata
Sekarang kota ini menggeliat sebagai pusat ekonomi dan pariwisata di Sumatera Barat. Bermodal alamnya yang indah dengan pemandangan gunung Merapi dan Singgalang serta udaranya yang sejuk, Bukittinggi menjelma menjadi magnet pariwisata. Maka tak mengherankan bila di akhir pekan dan hari libur, wisatawan lokal dan mancanegara memadati kota yang pernah dijuluki sebagai Parijs Van Sumatera, Paris dari Sumatera ini.
Mengunjungi Bukittinggi merupakan paket wisata yang lengkap. Semua destinasi pariwisata ada di sana. Kota yang berjarak 90 km dari kota Padang, ibukota Sumatera Barat ini, tidak hanya menyuguhkan pemandangan alam, terdapat wisata sejarah, kuliner dan belanja. Dan, beruntungnya lagi semua objek wisata tersebut  bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Diawali dari Jam Gadang, landmark kota Bukittinggi yang merupakan menara jam warisan Belanda yang diirikan tahun 1926. Lokasi favorit berfoto bagi pengunjung ini memiliki kekhasan. Angka pada Jam Gadang menggunakan angka romawi, kecuali angka empat. Seharusnya angka empat ditulis dengan “IV” tapi pada Jam Gadang ditulis “IIII”. Tak ada yang tahu pasti apakah ada kesalahan ketika pembuatannya, tetapi “kesalahan” itu dipertahankan sampai sekarang sebagai salah satu keunikan.
Keunikan lain adalah pada atap Jam Gadang. Sekarang atap Jam Gadang berbentuk bagonjong seperti atap rumah adat Minangkabau. Sebelumnya, atap Jam Gadang telah bertukar dua kali mengikuti pemerintahan kolonial yang memerintah Bukittinggi. Ketika penjajahan Jepang, atap Jam Gadang berbentuk klenteng sesuai bentuk atap rumah tradisional Jepang. Namun, pada awal pendiriannya, Belanda membuat atap seperti kubah mesjid dengan patung ayam jantan di puncaknya. Konon, patung ayam jantan itu untuk menyindir kebiasaan masyarakat sekitar yang sering bangun kesiangan dan terlambat memulai aktivitas di pasar.
Tepat di belakang Jam Gadang, berdiri Istana Wakil Presiden Bung Hatta. Dulu bangunan ini dijadikan kantor dan kediaman oleh Bung Hatta ketika sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Sumatera Barat. Sekarang Istana tersebut difungsikan untuk acara pemerintahan. Tahun 2005, istana ini digunakan sebagai tempat pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi.
Berjalan menyusuri jalan di belakang istana, terdapat objek wisata Ngarai Sianok. Di sini pengunjung akan disuguhi panorama Gunung Singgalang dan ngarai yang hijau. Suasana sejuk dan teduh langsung terasa. Terlebih pengunjung dapat berinteraksi dengan puluhan monyet yang menghuni di ngarai tersebut, tetapi danjurkan tetap berhati-hati. Kadang-kadang beberapa monyet cukup agresif.

Selain itu, pada destinasi ini pengunjung dapat masuk ke Lobang Jepang. Di dalamnya pengunjung dapat melihat ruang amunisi, ruang pertemuan dan penjara. Pengunjung dapat keluar dari Lobang Jepang di dasar Ngarai Sianok. Dari sana, pengunjung dapat menikmati pemandangan tebing-tebing pasir dan sungai dangkal berair jernih. Tak jauh dari sana, terdapat Janjang Koto Gadang yang didesain mirip miniatur Tembok Besar China. Janjang atau tangga itu dibangun menghubungkan dasar ngarai dengan desa Koto Gadang, sebuah desa yang dulunya disebut intelectual village. Julukan ini tepat disematkan karena desa tersebut banyak melahirkan tokoh nasional seperti Haji Agus Salim, Rohana Kudus (jurnalis dan tokoh emansipasi wanita) serta Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Imam Besar Masjidil Haram). Sekarang, desa itu dikenal sebagai sentra kerajinan perak. Pengunjung dapat membeli sejumlah kerajinan perak seperti cincin atau miniatur Jam Gadang.
Kembali ke area Jam Gadang, menyusuri jalan di pertokoan Pasar Atas, terdapat objek wisata Kebun Binatang. Destinasi wisata keluarga ini tidak saja memberikan edukasi mengenai jenis-jenis binatang yang menjadi koleksinya, tetapi juga memberikan edukasi sejarah dan budaya. Di dalam kompleks Kebun Binatang berdiri rumah adat Minangkabau yang difungsikan sebagai museum. Disamping itu, terdapat jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang dengan destinasi Benteng Fort De Kock. Walaupun tidak terdapat lagi sisa-sisa benteng, tetapi pengunjung masih bisa melihat beberapa meriam yang menandakan tempat itu dulu pernah dijadikan sebagai kubu pertahanan.


Wisata Belanja dan Kuliner
Puas berkeliling ke sejumlah destinasi wisata, pengunjung dapat menikmati sejumlah kuliner di Bukittinggi. Terkenal dengan dengan kuliner pedasnya, gulai itiak lado mudo (bebek cabe hijau) dapat dijadikan rekomendasi pilihan. Lokasi tempat makannya tak jauh dari Janjang Koto Gadang di dasar Ngarai Sianok.
Selain itu, bila sedang berjalan-jalan di sekitar Jam Gadang, pengunjung dapat berjalan ke arah Pasar Lereng. Di sana, terdapat traditional food court atau yang lebih dikenal dengan Los Lambuang. Pengunjung dapat mencoba nasi kapau, nasi Padang yang khas dengan aneka lauk, juga ada cendol dan ketupat pecal.
Beranjak ke wisata belanja, ada Pasar Atas yang lokasinya tepat di depan Jam Gadang. Berbagai barang dijual di sana. Bila ingin membeli bordir (sulaman) dan tenunan khas Sumatera Barat, silahkan datang ke lantai dua Pasar Atas. Di sana dijual bordiran dalam bentuk kain atau pakaian jadi seperti baju kurung, mukena dan taplak meja. Bagi pengunjung yang menyukai songket, di Pasar Atas dijual songket Pandai Sikek dan Silungkang. Kedua jenis songket ini dikerjakan dengan tangan sehingga kualitasnya terjamin.
Untuk oleh-oleh tak usah khawatir, banyak cenderamata dijual yang cocok dijadikan buah tangan. Dari baju kaus bergambar Jam Gadang, lukisan cat air dengan latar belakang Minangkabau sampai oleh-oleh makanan seperti keripik sanjai yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka.

Akhirnya, bercerita tentang Bukittinggi tidak hanya berkisah tentang nostalgia masa lalu tetapi  melihat geliat kota yang berkembang menjadi destinasi wisata. Tinggal ke depan bagaimana pemerintah daerah mampu mengeksploitasi keunikan daerahnya sehingga menjadi destinasi yang layak dan ramah bagi wisatawan.